Saat
kuliah aku punya sahabat karib bernama Yenny. Walaupun belum tentu
sekali setahun berjumpa tetapi semenjak sama-sama kami berkeluarga
hingga anak-anak tumbuh dewasa, jalinan persahabatan kami tetap
berlanjut. Setidaknya setiap bulan kami saling bertelpon. Ada saja
masalah untuk diomongkan. Suatu pagi Yenny telepon bahwa dia baru pulang
dari Magelang, kota kelahirannya. Dia bilang ada oleh-oleh kecil untuk
aku.
Kalau aku
tidak keluar rumah, Idang anaknya, akan mengantarkannya kerumahku. Ah,
repotnya sahabatku, demikian pikirku. Aku sambut gembira atas kebaikan
hatinya, aku memang jarang keluar rumah dan aku menjawab terima kasih
untuk oleh-olehnya. Ah, rejeki ada saja, Yenny pasti membawakan getuk,
makanan tradisional dari Magelang kesukaanku. Aku tidak akan keluar
rumah untuk menunggu si Idang, yang seingatku sudah lebih dari 10 tahun
aku tidak berjumpa dengannya.
Menjelang
tengah hari sebuah jeep Cherokee masuk ke halaman rumahku. Kuintip dari
jendela. Dua orang anak tanggung turun dari jeep itu. Mungkin si Idang
datang bersama temannya. Ah, jangkung bener anak Yenny. Aku buka pintu.
Dengan sebuah bingkisan si Idang naik ke teras rumah
“Selamat
siang, Tante. Ini titipan mama untuk Tante Erna. Kenalin ini Bonny
teman saya, Tante”. Idang menyerahkan kiriman dari mamanya dan
mengenalkan temannya padaku. Aku sambut gembira mereka. Oleh-oleh Yenny
dan langsung aku simpan di lemari es-ku biar nggak basi. Aku terpesona
saat melihat anak Yenny yang sudah demikian gede dan jangkung itu.
Dengan gaya pakaian dan rambutnya yang trendy sungguh keren anak
sahabatku ini. Demikian pula si Donny temannya, mereka berdua adalah
pemuda-pemuda masa kini yang sangat tampan dan simpatik. Ah, anak jaman
sekarang, mungkin karena pola makannya sudah maju pertumbuhan mereka
jadi subur. Mereka aku ajak masuk ke rumah. Kubuatkan minuman untuk
mereka.
Kuperhatikan
mata si Donny agak nakal, dia pelototi bahuku, buah dadaku, leherku.
Matanya mengikuti apapun yang sedang aku lakukan, saat aku jalan, saat
aku ngomong, saat aku mengambil sesuatu. Ah, maklum anak laki-laki,
kalau lihat perempuan yang agak melek, biar sudah tuaan macam aku ini,
tetap saja matanya melotot. Dia juga pinter ngomong lucu dan banyak
nyerempet-nyerempet ke masalah seksual. Dan si Idang sendiri senang
dengan omongan dan kelakar temannya. Dia juga suka nimbrung, nambahin
lucu sambil melempar senyuman manisnya.
Kami
jadi banyak tertawa dan cepat saling akrab. Terus terang aku senang
dengan mereka berdua. Dan tiba-tiba aku merasa berlaku aneh, apakah ini
karena naluri perempuanku atau dasar genitku yang nggak pernah hilang
sejak masih gadis dulu, hingga teman-temanku sering menyebutku sebagai
perempuan gatal. Dan kini naluri genit macam itu tiba-tiba kembali
hadir.
Mungkin hal ini disebabkan oleh tingkah
si Donny yang seakan-akan memberikan celah padaku untuk mengulangi
peristiwa-peristiwa masa muda. Peristiwa-peristiwa penuh birahi yang
selalu mendebarkan jantung dan hatiku. Ah, dasar perempuan tua yang
nggak tahu diri, makian dari hatiku untukku sendiri. Tetapi gebu
libidoku ini demikian cepat menyeruak ke darahku dan lebih cepat lagi ke
wajahku yang langsung terasa bengap kemerahan menahan gejolak birahi
mengingat masa laluku itu.
“Tante, jangan
ngelamun. Cicak jatuh karena ngelamun, lho”. Kami kembali terbahak
mendengar kelakar Idang. Dan kulihat mata Donny terus menunjukkan
minatnya pada bagian-bagian tubuhku yang masih mulus ini. Dan aku tidak
heran kalau anak-anak muda macam Donny dan Idang ini demen menikmati
penampilanku. Walaupun usiaku yang memasuki tahun ke 42 aku tetap
“fresh” dan “good looking”. Aku memang suka merawat tubuhku sejak muda.
Boleh dibilang tak ada kerutan tanda ketuaan pada bagian-bagian tubuhku.
Kalau aku jalan sama Oke, suamiku, banyak yang mengira aku anaknya atau
bahkan “piaraan”nya. Kurang asem, tuh orang.
Dan
suamiku sendiri sangat membanggakan kecantikkanku. Kalau dia
berkesempatan untuk membicarakan istrinya, seakan-akan memberi
iming-iming pada para pendengarnya hingga aku tersipu walaupun dipenuhi
rasa bangga dalam hatiku. Beberapa teman suamiku nampak sering tergoda
untuk mencuri pandang padaku. Tiba-tiba aku ada ide untuk menahan kedua
anak ini.
“Hai, bagaimana kalau kalian makan siang
di sini. Aku punya resep masakan yang gampang, cepat dan sedap.
Sementara aku masak kamu bisa ngobrol, baca tuh majalah atau pakai tuh,
komputer si oom. Kamu bisa main game, internet atau apa lainnya. Tapi
jangan cari yang ‘enggak-enggak’, ya..”, aku tawarkan makan siang pada
mereka.
Tanpa konsultasi dengan temannya si Donny
langsung iya saja. Aku tahu mata Donny ingin menikmati sensual tubuhku
lebih lama lagi. Si Idang ngikut saja apa kata Donny. Sementara mereka
buka komputer aku ke dapur mempersiapkan masakanku. Aku sedang mengiris
sayuran ketika tahu-tahu Donny sudah berada di belakangku. Dia
menanyaiku, “Tante dulu teman kuliah mamanya Idang, ya. Kok kayanya jauh
banget, sih?”.
“Apanya yang jauh?, aku tahu maksud pertanyaan Donny.
“Iya, Tante pantesnya se-umur dengan teman-temanku”.
“Gombal, ah. Kamu kok pinter nge-gombal, sih, Don”.
“Bener. Kalau nggak percaya tanya, deh, sama Idang”, lanjutnya sambil melototi pahaku.
“Tante hobbynya apa?”.
“Berenang di laut, skin dan scuba diving, makan sea food, makan sayuran, nonton Discovery di TV”.
“Ooo, pantesan”.
“Apa yang pantesan?”, sergapku.
“Pantesan body Tante masih mulus banget”.
Kurang
asem Donny ini, tanpa kusadari dia menggiring aku untuk mendapatkan
peluang melontarkan kata-kata “body Tante masih mulus banget” pada
tubuhku. Tetapi aku tak akan pernah menyesal akan giringan Donny ini.
Dan reaksi naluriku langsung membuat darahku terasa serr.., libidoku
muncul terdongkrak. Setapak demi setapak aku merasa ada yang bergerak
maju. Donny sudah menunjukkan keberaniannya untuk mendekat ke aku dan
punya jalan untuk mengungkapkan kenakalan ke-lelakian-nya.
“Ah, mata kamu saja yang keranjang”, jawabku yang langsung membuatnya tergelak-gelak.
“Papa kamu, ya, yang ngajarin?, lanjutku.
“Ah, Tante, masak kaya gitu aja mesti diajarin”.
Ah, cerdasnya anak ini, kembali aku merasa tergiring dan akhirnya terjebak oleh pertanyaanku sendiri.
“Memangnya pinter dengan sendirinya?”, lanjutku yang kepingin terjebak lagi.
“Iya, dong, Tante. Aku belum pernah dengar ada orang yang ngajari gitu-gitu-an”.
Ah, kata-kata giringannya muncul lagi, dan dengan senang hati kugiringkan diriku.
“Gitu-gituan gimana, sih, Don sayang?”, jawabku lebih progresif.
“Hoo, bener sayang, nih?”, sigap Donny.
“Habis kamu bawel, sih”, sergahku.
“Sudah sana, temenin si Idang tuh, n’tar dia kesepian”, lanjutku.
“Si Idang, mah, senengnya cuma nonton”, jawabnya.
“Kalau kamu?”, sergahku kembali.
“Kalau saya, action, Tante sayang”, balas sayangnya.
“Ya, sudah, kalau mau action, tuh ulek bumbu tumis di cobek, biar
masakannya cepet mateng”, ujarku sambil memukulnya dengan manis.
“Oo, beres, Tante sayang”, dia tak pernah mengendorkan serangannya padaku.
Kemudian dia menghampiri cobekku yang sudah penuh dengan bumbu yang
siap di-ulek. Beberapa saat kemudian aku mendekat ke dia untuk melihat
hasil ulekannya.
“Uh, baunya sedap banget, nih, Tante. Ini bau bumbu yang mirip Tante atau bau Tante yang mirip bumbu?”.
Kurang
asem, kreatif banget nih anak, sambil ketawa ngakak kucubit pinggangnya
keras-keras hingga dia aduh-aduhan. Seketika tangannya melepas
pengulekan dan menarik tanganku dari cubitan di pinggangnya itu. Saat
terlepas tangannya masih tetap menggenggam tanganku, dia melihat ke
mataku. Ah, pandangannya itu membuat aku gemetar. Akankah dia berani
berbuat lebih jauh? Akankah dia yakin bahwa aku juga merindukan
kesempatan macam ini? Akankah dia akan mengisi gejolak hausku?
Petualanganku? Nafsu birahiku?
Aku tidak memerlukan jawaban
terlampau lama. Bibir Donny sudah mendarat di bibirku. Kini kami sudah
berpagutan dan kemudian saling melumat. Dan tangan-tangan kami saling
berpeluk. Dan tanganku meraih kepalanya serta mengelusi rambutnya. Dan
tangan Donny mulai bergeser menerobos masuk ke blusku. Dan tangan-tangan
itu juga menerobosi BH-ku untuk kemudian meremasi payudaraku. Dan aku
mengeluarkan desahan nikmat yang tak terhingga. Nikmat kerinduan birahi
menggauli anak muda yang seusia anakku, 22 tahun di bawah usiaku.
“Tante,
aku nafsu banget lihat body Tante. Aku pengin menciumi body Tante. Aku
pengin menjilati body Tante. Aku ingin menjilati nonok Tante. Aku ingin
ngentot Tante”. Ah, seronoknya mulutnya. Kata-kata seronok Donny
melahirkan sebuah sensasi erotik yang membuat aku menggelinjang hebat.
Kutekankan selangkanganku mepet ke selangkangnnya hingga kurasakan ada
jendolan panas yang mengganjal. Pasti kontol Donny sudah ngaceng banget.
Kuputar-putar
pinggulku untuk merasakan tonjolannya lebih dalam lagi. Donny
mengerang.Dengan tidak sabaran dia angkat dan lepaskan blusku. Sementara
blus masih menutupi kepalaku bibirnya sudah mendarat ke ketiakku. Dia
lumati habis-habisan ketiak kiri kemudian kanannya. Aku merasakan nikmat
di sekujur urat-uratku. Donny menjadi sangat liar, maklum anak muda,
dia melepaskan gigitan dan kecupannya dari ketiak ke dadaku.
Dia
kuak BH-ku dan keluarkan buah dadaku yang masih nampak ranum. Dia
isep-isep bukit dan pentilnya dengan penuh nafsu. Suara-suara erangannya
terus mengiringi setiap sedotan, jilatan dan gigitannya. Sementara itu
tangannya mulai merambah ke pahaku, ke selangkanganku. Dia lepaskan
kancing-kancing kemudian dia perosotkan hotpants-ku. Aku tak mampu
mengelak dan aku memang tak akan mengelak. Birahiku sendiri sekarang
sudah terbakar hebat. Gelombang dahsyat nafsuku telah melanda dan
menghanyutkan aku. Yang bisa kulakukan hanyalah mendesah dan merintih
menanggung derita dan siksa nikmat birahiku.
Begitu hotpants-ku
merosot ke kaki, Donny langsung setengah jongkok menciumi celana
dalamku. Dia kenyoti hingga basah kuyup oleh ludahnya. Dengan nafsu
besarnya yang kurang sabaran tangannya memerosotkan celana dalamku. Kini
bibir dan lidahnya menyergap vagina, bibir dan kelentitku. Aku jadi
ikutan tidak sabar.
“Donny, Tante udah gatal banget, nih”.
“Copot dong celanamu, aku pengin menciumi kamu punya, kan”.
Dan tanpa protes dia langsung berdiri melepaskan celana panjang berikut
celana dalamnya. kontolnya yang ngaceng berat langsung mengayun kaku
seakan mau nonjok aku. Kini aku ganti yang setengah jongkok, kukulum
kontolnya. Dengan sepenuh nafsuku aku jilati ujungnya yang sobek merekah
menampilkan lubang kencingnya. Aku merasakan precum asinnya saat Donny
menggerakkan pantatnya ngentot mulutku. Aku raih pahanya biar arah
kontolnya tepat ke lubang mulutku.
“Tante, aku pengin ngentot
memek Tante sekarang”. Aku tidak tahu maunya, belum juga aku puas
mengulum kontolnya dia angkat tubuhku. Dia angkat satu kakiku ke meja
dapur hingga nonokku terbuka. Kemudian dia tusukkannya kontolnya yang
lumayan gede itu ke memekku.
Aku menjerit
tertahan, sudah lebih dari 3 bulan Oke, suamiku nggak nyenggol-nyenggol
aku. Yang sibuklah, yang rapatlah, yang golflah. Terlampau banyak alasan
untuk memberikan waktunya padaku. Kini kegatalan kemaluanku terobati,
Kocokkan kontol Donny tanpa kenal henti dan semakin cepat. Anak muda ini
maunya serba cepat. Aku rasa sebentar lagi spermanya pasti muncrat,
sementara aku masih belum sepenuhnya puas dengan entotannya.
Aku
harus menunda agar nafsu Donny lebih terarah. Aku cepat tarik
kemaluanku dari tusukkannya, aku berbalik sedikit nungging dengan
tanganku bertumpu pada tepian meja. Aku pengin dan mau Donny nembak
nonokku dari arah belakang. Ini adalah gaya favoritku. Biasanya aku akan
cepat orgasme saat dientot suamiku dengan cara ini. Donny tidak perlu
menunggu permintaanku yang kedua. kontolnya langsung di desakkan ke
mem*kku yang telah siap untuk melahap kontolnya itu.
Nah,
aku merasakan enaknya kontol Donny sekarang. Pompaannya juga lebih
mantab dengan pantatku yang terus mengimbangi dan menjemput setiap
tusukan kont*lnya. Ruang dapur jadi riuh rendah.
Selintas
terpikir olehku, di mana si Idang. Apakah dia masih berkutat dengan
komputernya? Atau dia sedang mengintip kami barangkali? Tiba-tiba dalam
ayunan kont*lnya yang sudah demikian keras dan berirama Donny berteriak.
“Dang, Idang, ayoo, bantuin aku .., Dang..”.
Ah, kurang asem anak-anak ini. Jangan-jangan mereka memang melakukan
konspirasi untuk mengentotku saat ada kesempatan disuruh mamanya untuk
mengirimkan oleh-oleh itu. Kemudian kulihat Idang dengan tenangnya
muncul menuju ke dapur dan berkata ke Donny
“Gue kebagian apanya Don?’
“Tuh, lu bisa ngentot mulutnya. Dia mau kok”.
Duh, kata-kata seronok yang mereka ucapkan dengan kesan seolah-olah aku
ini hanya obyek mereka. Dan anehnya ucapan-ucapan yang sangat tidak
santun itu demikian merangsang nafsu birahiku, sangat eksotik dalam
khayalku. Aku langsung membayangkan seolah-olah aku ini anjing mereka
yang siap melayani apapun kehendak pemiliknya.
Aku
melenguh keras-keras untuk merespon gaya mereka itu. Kulihat dengan
tenangnya Idang mencopoti celananya sendiri dan lantas meraih kepalaku
dengan tangan kirinya, dijambaknya rambutku tanpa menunjukkan rasa
hormat padaku yang adalah teman mamanya itu, untuk kemudian ditariknya
mendekat ke kontolnya yang telah siap dalam genggaman tangan kanannya.
kontol Idang nampak kemerahan mengkilat. Kepalanya menjamur besar
diujung batangnya.
Saat bibirku disentuhkannya
aroma kontolnya menyergap hidungku yang langsung membuat aku kelimpungan
untuk selekasnya mencaplok kontol itu. Dengan penuh kegilaan aku
lumati, jilati kulum, gigiti kepalanya, batangnya, pangkalnya, biji
pelernya. Tangan Idang terus mengendalikan kepalaku mengikuti
keinginannya. Terkadang dia buat maju mundur agar mulutku memompa,
terkadang dia tarik keluar kontolnya menekankan batangnya atau pelirnya
agar aku menjilatinya.
Duh, aku mendapatkan
sensasi kenikmatan seksualku yang sungguh luar biasa. Sementara di
belakang sana si Donny terus menggenjotkan kontolnya keluar masuk
menembusi nonoknya sambil jari-jarinya mengutik-utik dan
disogok-sogokkannya ke lubang pantatku yang belum pernah aku mengalami
cara macam itu. Oke, suamiku adalah lelaki konvensional.
Saat dia
menggauliku dia lakukan secara konvensional saja. Sehingga saat aku
merasakan bagaimana perbuatan teman dan anak sahabatku ini aku merasakan
adanya sensasi baru yang benar-benar hebat melanda aku. Kini 3 lubang
erotis yang ada padaku semua dijejali oleh nafsu birahi mereka. Aku
benar-benar jadi lupa segala-galanya. Aku mengenjot-enjot pantatku untuk
menjemputi kontol dan jari-jari tangan Donny dan mengangguk-anggukkan
kepalaku untuk memompa kontol Idang.
“Ah, Tante, mulut Tante sedap
banget, sih. Enak kan, kontolku. Enak, kan? Sama kontol Oom enak mana?
N’tar Tante pasti minta lagi, nih”.
Dia percepat kendali tangannya
pada kepalaku. Ludahku sudah membusa keluar dai mulutku. kontol Idang
sudah sangat kuyup. Sesekali aku berhenti sessat untuk menelan ludahku.
Tiba-tiba Donny berteriak dari belakang, “Aku mau keluar nih, Tante. Keluarin di memok atau mau diisep, nih?”.
Ah,
betapa nikmatnya bisa meminum air mani anak-anak ini. Mendengar
teriakan Donny yang nampak sudah kebelet mau muncratkan spermanya, aku
buru-buru lepaskan kontol Idang dari mulutku. Aku bergerak dengan cepat
jongkok sambil mengangakan mulutku tepat di ujung kontol Donny yang kini
penuh giat tangannya mengocok-ocok kont*lnya untuk mendorong agar air
maninya cepat keluar.
Kudengar mulutnya terus meracau, “Minum air
maniku, ya, Tante, minum ya, minum, nih, Tante, minum ya, makan spermaku
ya, Tante, makan ya, enak nih, Tante, enak nih air maniku, Tante, makan
ya..”.
Air mani Donny muncrat-muncrat ke wajahku, ke mulutku, ke
rambutku. Sebagian lain nampak mengalir di batang dan tangannya. Yang
masuk mulutku langsung aku kenyam-kenyam dan kutelan. Yang meleleh di
batang dan tanganannya kujilati kemudian kuminum pula.
Kemudian
dengan jari-jarinya Donny mengorek yang muncrat ke wajahku kemudian
disodorkannya ke mulutku yang langsung kulumati jari-jarinya itu.
Ternyata saat Idang menyaksikan apa yang dikerjakan Donny dia nggak
mampu menahan diri untuk mengocok-ocok juga kontolnya. Dan beberapa saat
sesudah kontol Donny menyemprotkan air maninya, menyusul kontol Idang
memuntahkan banyak spermanya ke mulutku. Aku menerima semuanya
seolah-olah ini hari pesta ulang tahunku. Aku merasakan rasa yang
berbeda, sperma Donny serasa madu manisnya, sementara sperma Idang
sangat gurih seperti air kelapa muda.
Dasar anak muda, nafsu
mereka tak pernah bisa dipuaskan. Belum sempat aku istirahat mereka
mengajak aku ke ranjang pengantinku. Mereka nggak mau tahu kalau aku
masih mengagungkan ranjang pengantinku yang hanya Oke saja yang boleh
ngentot aku di atasnya. Setengahnya mereka menggelandang aku memaksa
menuju kamarku.
Aku ditelentangkannya ke kasur dengan pantatku
berada di pinggiran ranjang. Idang menjemput satu tungkai kakiku yang
dia angkatnya hingga nempel ke bahunya. Dia tusukan kontolnya yang tidak
surut ngacengnya sesudah sedemikian banyak menyemprotkan sperma untuk
menyesaki memekku, kemudian dia pompa kemaluanku dengan cepat kesamping
kanan, kiri, ke atas, ke bawah dengan penuh irama.
Aku
merasakan ujungnya menyentuh dinding rahimku dan aku langsung
menggelinjang dahsyat. Pantatku naik turun menjemput tusukan-tusukan
kontol legit si Idang. Sementara itu Donny menarik tubuhku agar kepalaku
bisa menciumi dan mengisap kontolnya. Kami bertiga kembali mengarungi
samudra nikmatnya birahi yang nikmatnya tak terperi.
Hidungku
menikmati banget aroma yang menyebar dari selangkangan Donny. Jilatan
lidah dan kuluman bibirku liar melata ke seluruh kemaluan Donny.
Kemudian untuk memenuhi kehausanku yang amat sangat, paha Donny kuraih
ke atas ranjang sehingga satu kakinya menginjak ke kasur dan membuat
posisi pantatnya menduduki wajahku. Dengan mudah tangan Donny meraih dan
meremasi susu-susu dan pentilku.
Sementara
hidungku setengah terbenam ke celah pantatnya dan bibirku tepat di bawah
akar pangkal kontolnya yang keras menggembung. Aku menggosok-gosokkan
keseluruhan wajahku ke celah bokongnya itu sambil tangan kananku ke atas
untuk ngocok kontol Donny. Duh, aku kini tenggelam dalam aroma nikmat
yang tak terhingga. Aku menjadi kesetanan menjilati celah pantat Donny.
Aroma
yang menusuk dari pantatnya semakin membuat aku liar tak terkendali.
Sementara di bawah sana Idang yang rupanya melihat bagaimana aku begitu
liar menjilati pantat Donny langsung dengan buasnya menggenjot nonokku.
Dia memperdengarkan racauan nikmatnya,
“Tante,
nonokmu enak, Tante, nonokmu aku entot, Tante, nonokmu aku entot, ya,
enak, nggak, heh?, Enak ya, kontolku, enak Tante, kontolku?”. Aku juga
membalas erangan, desahan dan rintihan nikmat yang sangat dahsyat. Dan
ada yang rasa yang demikian exciting merambat dari dalam kemaluanku.
Aku
tahu orgasmeku sedang menuju ke ambang puncak kepuasanku. Gerakkanku
semakin menggila, semakin cepat dan keluar dari keteraturan. Kocokkan
tanganku pada kontol Donny semakin kencang. Naik-naik pantatku
menjemputi kontol Idang semakin cepat, semakin cepat, cepat, cepat,
cepat.
Dan
teriakanku yang rasanya membahana dalam kamar pengantinku tak mampu
kutahan, meledak menyertai bobolnya pertahanan kemaluanku. Cairan
birahiku tumpah ruah membasah dab membusa mengikuti batang kontol yang
masih semakin kencang menusukki nonokku. Dan aku memang tahu bahwa Idang
juga hendak melepas spermanya yang kemudian dengan rintihan nikmatnya
akhirnya menyusul sedetik sesudah cairan birahiku tertumpah. Kakiku yang
sejak tadi telah berada dalam pelukannya disedoti dan gigitinya hingga
meninggalkan cupang-cupang kemerahan.
Sementara
Donny yang sedang menggapai menuju puncak pula, meracau agar aku
mempercepat kocokkan kontolnya sambil tangannya keras-keras meremasi
buah dadaku hingga aku merasakan pedihnya. Dan saat puncaknya itu
akhirnya datang, dia lepaskan genggaman tanganku untuk dia kocok sendiri
kontolnya dengan kecepatan tinggi hingga spermanya muncrat semburat
tumpah ke tubuhku.
Aku yang tetap penasaran,
meraih batang yang berkedut-kedut itu untuk kukenyoti, mulutku
mengisap-isap cairan maninya hingga akhirnya segalanya reda. Jari-jari
tanganku mencoleki sperma yang tercecer di tubuhku untuk aku jilat dan
isap guna mengurangi dahaga birahiku.
Sore harinya, walaupun aku
belum sempat merasakan getuk kirimannya yang kini berada dalam lemari
esku dengan penuh semangat dan terima kasih aku menelepon Yenny.
“Wah,
terima kasih banget atas kirimannya, ya Yen. Karena sudah lama aku
tidak merasakannya, huh, nikmat banget rasanya. Ada gurihnya, ada
manisnya, ada legitnya”, kataku sambil selintas mengingat kenikmatan
yang aku raih dari Idang anaknya dan Donny temannya.
Yenny
tertawa senang sambil menjawab, “Nyindir, ya. Memangnya kerajinan tanduk
dari Pucang (sebuah desa di utara Magelang yang menjadi pusat kerajinan
dari tanduk kerbau) itu serasa getuk kesukaanmu itu. N’tar deh kalau
aku pulang lagi, kubawakan sekeranjang getukmu”.
Aku tersedak dan terbatuk-batuk. Mati aku, demikian pikirku. Ternyata bingkisan dalam kulkas itu bukan getuk kesukaanku.