Kisahku
yang satu ini kejadiannya sudah cukup lama, Sejak aku menyerahkan
tubuhku pada Tohir, sopirku, dia sering memintaku melakukannya lagi
setiap kali ada kesempatan, bahkan terkadang aku dipaksanya melayani
nafsunya yang besar itu.
Ketika di mobil dengannya tidak jarang
dia suruh aku mengoralnya, kalaupun tidak, minimal dia
mengelus-elus
paha mulusku atau meremas dadaku. Pernah malah ketika kedua orang tuaku
keluar kota dia ajak aku tidur bersamanya di kamarku. Memang di depan
orang tuaku dia bersikap padaku sebagaimana sopir terhadap majikannya,
namun begitu jauh dari mereka keadaan menjadi berbalik akulah yang harus
melayaninya. Mulanya sih aku memang agak kesal karena sikapnya yang
agak kelewatan itu, tapi di lain pihak aku justru menikmatinya.
Tepatnya
dua minggu sebelum ebtanas, aku sedang belajar sambil selonjoran
bersandar di ujung ranjangku. Ketika itu waktu sudah menunjukkan pukul
23.47, suasananya hening sekali pas untuk menghafal. Tiba-tiba
konsentrasiku terputus oleh suara ketukan di pintu. Kupikir itu Mamaku
yang ingin menengokku, tapi ketika pintu kubuka, jreenngg.. Aku
tersentak kaget, si Tohir ternyata.
“Ih, ngapain sih Bang malam-malam gini, kalau keliatan Papa Mama kan gawat tahu”
“Anu
Non, nggak bisa tidur nih.. Mikirin Non terus sih, bisa nggak Non
sekarang.. Sudah tiga hari nih?” katanya dengan mata menatapi tubuhku
yang terbungkus gaun tidur pink.
“Aahh.. Sudah ah Bang, saya kan harus belajar sudah mau ujian, nggak mau sekarang ah!” omelku sambil menutup pintu.
Namun sebelum pintu tertutup dia menahannya dengan kaki, lalu menyelinap masuk dan baru menutup pintu itu dan menguncinya.
“Tenang saja Non, semua sudah tidur dari tadi kok, tinggal kita duaan saja” katanya menyeringai.
“Jangan ngelunjak Bang.. Sana cepet keluar!” hardikku dengan telunjuk mengarah ke pintu.
Bukannya menuruti perintahku dia malah melangkah mendekatiku, tatapan matanya tajam seolah menelanjangiku.
“Bang Tohir.. Saya bilang keluar.. Jangan maksa!” bentakku lagi.
“Ayolah
Non, cuma sebentar saja kok.. Abang sudah kebelet nih, lagian masa Non
nggak capek belakangan ini belajar melulu sih” ucapnya sambil terus
mendekat.
Aku terus mundur selangkah demi selangkah
menghindarinya, jantungku semakin berdebar-debar seperti mau diperkosa
saja rasanya. Akhirnya kakiku terpojok oleh tepi ranjangku hingga aku
jatuh terduduk di sana. Kesempatan ini tidak disia-siakan sopirku, dia
langsung menerkam dan menindih tubuhku. Aku menjerit tertahan dan
meronta-ronta dalam himpitannya. Namun sepertinya reaksiku malah
membuatnya semakin bernafsu, dia tertawa-tawa sambil menggerayangi
tubuhku. Aku menggeleng kepalaku kesana kemari saat dia hendak menciumku
dan menggunakan tanganku untuk menahan laju wajahnya.
“Mmhh.. Jangan Bang.. Citra nggak mau!” mohonku.
Aneh
memang, sebenarnya aku bisa saja berteriak minta tolong, tapi kenapa
tidak kulakukan, mungkin aku mulai menikmatinya karena perlakuan seperti
ini bukanlah pertama kalinya bagiku, selain itu aku juga tidak ingin
ortuku mengetahui skandal-skandalku. Breett.. Gaun tidurku robek sedikit
di bagian leher karena masih memberontak waktu dia memaksa membukanya.
Dia telah berhasil memegangi kedua lenganku dan direntangkannya ke atas
kepalaku. Aku sudah benar-benar terkunci, hanya bisa menggelengkan
kepalaku, itupun dengan mudah diatasinya, bibirnya yang tebal itu
sekarang menempel di bibirku, aku bisa merasakan kumis pendek yang kasar
menggesek sekitar bibirku juga deru nafasnya pada wajahku.
Kecapaian
dan kalah tenaga membuat rontaanku melemah, mau tidak mau aku harus
mengikuti nafsunya. Dia merangsangku dengan mengulum bibirku, mataku
terpejam menikmati cumbuannya, lidahnya terus mendorong-dorong memaksa
ingin masuk ke mulutku. Mulutku pun pelan-pelan mulai terbuka membiarkan
lidahnya masuk dan bermain di dalamnya, lidahku secara refleks beradu
karena dia selalu menyentil-nyentil lidahku seakan mengajaknya ikut
menari. Suara desahan tertahan, deru nafas dan kecipak ludah terdengar
jelas olehku.
Mataku yang terpejam terbuka ketika kurasakan
tangan kasarnya mengelusi paha mulusku, dan terus mengelus menuju
pangkal paha. Jarinya menekan-nekan liang vaginaku dan mengusap-ngusap
belahan bibirnya dari luar. Birahiku naik dengan cepatnya, terpancar
dari nafasku yang makin tak teratur dan vaginaku yang mulai becek.
Tangannya sudah menyusup ke balik celana dalamku, jari-jarinya
mengusap-usap permukaannya dan menemukan klitorisku, benda seperti
kacang itu dipencet-pencet dan digesekkan dengan jarinya membuatku
menggelinjang dan merem-melek menahan geli bercampur nikmat, terlebih
lagi jari-jari lainnya menyusup dan menyetuh dinding-dinding dalam liang
itu.
“Ooohh.. Non Citra jadi tambah cantik saja kalau lagi konak
gini!” ucapnya sambil menatapi wajahku yang merona merah dengan matanya
yang sayu karena sudah terangsang berat.
Lalu dia tarik keluar tangannya dari celana dalamku, jari-jarinya belepotan cairan bening dari vaginaku.
“Non
cepet banget basahnya ya, lihat nih becek gini” katanya memperlihatkan
jarinya yang basah di depan wajahku yang lalu dijilatinya.
Kemudian
dengan tangan yang satunya dia sibakkan gaun tidurku sehingga
payudaraku bugil yang tidak memakai bra terbuka tanpa terhalang apapun.
Matanya melotot mengamat-ngamati dan mengelus payudaraku yang berukuran
34B, dengan puting kemerahan serta kulitnya yang putih mulus.
Teman-teman cowokku bilang, bahwa bentuk dan ukuran payudaraku ideal
untuk orang Asia, kencang dan tegak seperti punya artis bokep Jepang,
bukan seperti punya bule yang terkadang oversize dan turun ke bawah.
“Nnngghh.. Bang” desahku dengan mendongak ke belakang merasakan mulutnya memagut payudaraku yang menggemaskan itu.
Mulutnya
menjilat, mengisap, dan menggigit pelan putingnya. Sesekali aku
bergidik keenakan kalau kumis pendeknya menggesek putingku yang
sensitif. Tangan lainnya turut bekerja pada payudaraku yang sebelah
dengan melakukan pijatan atau memainkan putingnya sehingga kurasakan
kedua benda sensitif itu semakin mengeras. Yang bisa kulakukan hanya
mendesah dan meremasi rambutnya yang sedang menyusu.
Puas menyusu
dariku, mulutnya perlahan-lahan turun mencium dan menjilati perutku
yang rata dan terus berlanjut makin ke bawah sambil tangannya menurunkan
celana dalamku. Sambil memeloroti dia mengelusi paha mulusku. Cd itu
akhirnya lepas melalui kaki kananku yang dia angkat, setelah itu dia
mengulum sejenak jempol kakiku dan juga menjilati kakiku. Darahku
semakin bergolak oleh permainannya yang erotis itu. Selanjutnya dia
mengangkat kedua kakiku ke bahunya, badanku setengah terangkat dengan
selangkangan menghadap ke atas.
Aku pasrah saja mengikuti posisi
yang dia inginkan, pokoknya aku ingin menuntaskan birahiku ini. Tanpa
membuang waktu lagi dia melumat kemaluanku dengan rakusnya, lidahnya
menyapu seluruh pelosok vaginaku dari bibirnya, klitorisnya, hingga ke
dinding di dalamnya, anusku pun tidak luput dari jilatannya. Lidahnya
disentil-sentilkan pada klitorisku memberikan sensasi yang luar biasa
pada daerah itu. Aku benar-benar tak terkontrol dibuatnya, mataku
merem-melek dan berkunang-kunang, syaraf-syaraf vaginaku mengirimkan
rangsangan ini ke seluruh tubuh yang membuatku serasa menggigil.
“Ah..
Aahh.. Bang.. Nngghh.. Terus!” erangku lebih panjang di puncak
kenikmatan, aku meremasi payudaraku sendiri sebagai ekspresi rasa nikmat
Tohir
terus menyedot cairan yang keluar dari sana dengan lahapnya. Tubuhku
jadi bergetar seperti mau meledak. Kedua belah pahaku semakin erat
mengapit kepalanya. Setelah puas menyantap hidangan pembuka berupa
cairan cintaku, barulah dia turunkan kakiku. Aku sempat beristirahat
dengan menunggunya membuka baju, tapi itu tidak lama. Setelah dia
membuka baju, dia buka juga dasterku yang sudah tersingkap, kami berdua
kini telanjang bulat.
Dia membentangkan kedua pahaku dan
mengambil posisi berlutut di antaranya. Bibir vaginaku jadi ikut terbuka
memancarkan warna merah merekah diantara bulu-bulu hitamnya, siap untuk
menyambut yang akan memasukinya. Namun Tohir tidak langsung
mencoblosnya, terlebih dulu dia gesek-gesekkan penisnya yang besar itu
pada bibirnya untuk memancing birahiku agar naik lagi. Karena sudah
tidak sabar ingin segera dicoblos, aku meraih batang itu, keras sekali
benda itu waktu kugenggam, panjang dan berurat lagi.
“Aaakkhh..!” erangku lirih sambil mengepalkan tangan erat-erat saat penisnya melesak masuk ke dalamku
“Aauuhh..!”
aku menjerit lebih keras dengan tubuh berkelejotan karena hentakan
kerasnya hingga penis itu tertancap seluruhnya pada vaginaku.
Untung
saja kamar Papa Mamaku di lantai dasar dan letaknya cukup jauh dari
kamarku, kalau tidak tentu suara-suara aneh di kamarku pasti terdengar
oleh mereka, bagaimanapun sopirku ini termasuk nekad berani melakukannya
di saat dan tempat seperti ini, tapi justru disinilah sensasinya
ngeseks di tempat yang ‘berbahaya’. Dengan gerakan perlahan dia menarik
penisnya lalu ditekan ke dalam lagi seakan ingin menikmati dulu
gesekan-gesekan pada himpitan lorong sempit yang bergerinjal-gerinjal
itu. Aku ikut menggoyangkan pinggul dan memainkan otot vaginaku
mengimbangi sodokannya. Responku membuatnya semakin menggila, penisnya
semakin lama menyodok semakin kasar saja, kedua gunungku jadi ikut
terguncang-guncang dengan kencang.
Kuperhatikan selama
menggenjotku otot-otot tubuhnya mengeras, tubuhnya yang hitam kekar
bercucuran keringat, sungguh macho sekali, pria sejati yang memberiku
kenikmatan sejati. Suara desahanku bercampur baur dengan erangan
jantannya dan derit ranjang. Butir-butir keringat nampak di sejukur
tubuhku seperti embun, walaupun ruangan ini ber-ac tapi aku merasa panas
sekali.
“Uugghh.. Non Citra.. Sayang.. Kamu emang uenak tenan..
Oohh.. Non cewek paling cantik yang pernah abang entotin” Tohir memgumam
tak karuan di tengah aktivitasnya.
Dia menurunkan tubuhnya
hingga menindihku, kusambut dengan pelukan erat, kedua tungkaiku
kulingkarkan di pinggangnya. Dia mendekatkan mulutnya ke leher jenjangku
dan memagutnya. Sementara di bawah sana penisnya makin gencar
mengaduk-aduk vaginaku, diselingi gerakan berputar yang membuatku serasa
diaduk-aduk. Tubuh kami sudah berlumuran keringat yang saling
bercampur, akupun semakin erat memeluknya. Aku merintih makin tak karuan
menyambut klimaks yang sudah mendekat bagaikan ombak besar yang akan
menghantam pesisir pantai.
Namun begitu sudah di ambang klimaks,
dia menurunkan frekuensi genjotannya. Tanpa melepaskan penisnya, dia
bangkit mendudukkan dirinya, maka otomatis aku sekarang diatas
pangkuannya. Dengan posisi ini penisnya menancap lebih dalam pada
vaginaku, semakin terasa juga otot dan uratnya yang seperti akar
beringin itu menggesek dinding kemaluanku. Kembali aku menggoyangkan
badanku, kini dengan gerakan naik-turun. Dia merem-melek keenakan dengan
perlakuanku, mulutnya sibuk melumat payudaraku kiri dan kanan secara
bergantian membuat kedua benda itu penuh bekas gigitan dan air liur.
Tangannya terus menjelajahi lekuk-lekuk tubuhku, mengelusi punggung,
pantat, dan paha.
Tak lama kemudian aku kembali mendekati
orgasme, maka kupercepat goyanganku dan mempererat pelukanku. Hingga
akhirnya mencapai suatu titik dimana tubuhku mengejang, detak jantung
mengencang, dan pandangan agak kabur lalu disusul erangan panjang serta
melelehnya cairan hangat dari vaginaku. Saat itu dia gigit putingku
dengan cukup keras sehingga gelinjangku makin tak karuan oleh rasa perih
bercampur nikmat. Ketika gelombang itu berangsur-angsur berlalu,
goyanganku pun makin mereda, tubuhku seperti mati rasa dan roboh ke
belakang tapi ditopang dengan lengannya yang kokoh.
Dia
membiarkanku berbaring mengumpulkan tenaga sebentar, diambilnya tempat
minum di atas meja kecil sebelah ranjangku dan disodorkan ke mulutku.
Beberapa teguk air membuatku lebih enakan dan tenagaku mulai pulih
berangsur-angsur.
“Sudah segar lagi kan Non? Kita terusin lagi yuk!” sahut Tohir senyum-senyum sambil mulai menggerayangi tubuhku kembali.
“Habis ini sudahan yah, takut ketahuan nih,” kataku.
Kali
ini tubuhku dibalikkan dalam posisi menungging, kemudian dia mulai
menciumi pantatku. Lidahnya menelusuri vagina dan anusku memberiku
sensasi geli. Kemudian aku merasa dia meludahi bagian duburku, ya ketika
kulihat ke belakang dia memang sedang membuang ludahnya beberapa kali
ke daerah itu, lalu digosok-gosokkan dengan jarinya. Oh.. Jangan-jangan
dia mau main sodomi, aku sudah lemas dulu membayangkan rasa sakitnya
ditusuk benda sebesar itu pada daerah situ padahal dia belum juga
menusuk. Pertama kali aku melakukan anal sex dengan temanku yang
penisnya tidak sebesar Tohir saja sudah sakit banget, apalagi yang
sebesar ini, aduh bisa mampus gua pikirku.
Benar saja yang
kutakutkan, setelah melicinkan daerah itu dia bangkit dengan tangan
kanan membimbing penisnya dan tangan kiri membuka anusku. Aku meronta
ingin menolak tapi segera dipegangi olehnya.
“Jangan Bang.. Jangan disitu, sakit!” mohonku setengah meronta.
“Tenang Non, nikmati saja dulu, ntar juga enak kok” katanya dengan santai.
Aku
merintih sambil menggigit guling menahan rasa perih akibat tusukan
benda tumpul pada duburku yang lebih sempit dari vaginaku. Air mataku
saja sampai meleleh keluar.
“Aduuhh.. Sudah dong Bang.. Citra nggak tahan” rintihku yang tidak dihiraukannya.
“Uuhh.. Sempit banget nih” dia mengomentariku dengan wajah meringis menahan nikmat.
Setelah
beberapa saat menarik dan mendorong akhirnya mentok juga penisnya. Dia
diamkan sebentar penisnya disana untuk beradaptasi sekalian menikmati
jepitannya. Kesempatan ini juga kupakai untuk membiasakan diri dan
mengambil nafas.
Aku menjerit kecil saat dia mulai menghujamkan penisnya. Secara bertahap sodokannya bertambah kencang dan kasar sehingga
tubuhku pun ikut terhentak-hentak. Tangannya meraih kedua payudaraku dan diremas-remasnya dengan brutal. Keringat dan air
mataku bercucuran akibat sensasi nikmat di tengah-tengah rasa perih dan ngilu, aku menangis bukan karena sedih, juga bukan
karena benci, tapi karena rasa sakit bercampur nikmat. Rasa sakit itu kurasakan terutama pada dubur dan payudara, aku
mengaduh setiap kali dia mengirim hentakan dan remasan keras, namun aku juga tidak rela dia menyudahinya. Terkadang aku harus
menggigit bibir atau bantal untuk meredam jeritanku agar tidak keluar sampai ke bawah sana.
Akhirnya ada sesuatu perasaan nikmat mengaliri tubuhku yang kuekspresikan dengan erangan panjang, ya aku mengalami orgasme
panjang dengan cara kasar seperti ini, tubuhku menegang beberapa saat lamanya hingga akhirnya lemas seperti tak bertulang.
Tohir sendiri menyusulku tak lama kemudian, dia menggeram dan makin mempercepat genjotannya. Kemudian dengan nafas masih
memburu dia mencabut penisnya dariku dan membalikkan tubuhku. Spermanya muncrat dengan derasnya dan berceceran di sekujur
dada dan perutku, hangat dan kental dengan baunya yang khas.
Tubuh kami tergolek lemas bersebelahan. Aku memejamkan mata dan mengatur nafas sambil merenungkan dalam-dalam kegilaan
yang baru saja kami lakukan, sebuah hubungan terlarang antara seorang gadis dari keluarga kaya dan terpelajar yang cantik dan
terawat dengan sopirnya sendiri yang kasar dan berbeda kelas sosial. Hari-hari berikutnya aku jadi semakin kecanduan seks,
terutama seks liar seperti ini, dimana tubuhku dipakai orang-orang kasar seperti Tohir, dari situlah aku merasakan sensasinya.
Sebenarnya
aku pernah ingin berhenti, tetapi aku tidak bisa meredam libidoku yang
tinggi, jadi ya kujalani saja apa adanya. Untuk
mengimbanginya aku rutin merawat diriku sendiri dengan fitness, olahraga, mandi susu, sauna, juga mengecek jadwal suburku
secara teratur. Dua bulan ke depan Tohir terus memperlakukanku seperti budak seksnya sampai akhirnya dia mengundurkan diri
untuk menemani istrinya yang menjadi TKW di Timur Tengah. Lega juga aku bisa lepas dari cengkeramannya, tapi terkadang aku
merasa rindu akan keperkasaannya, dan hal inilah yang mendorongku untuk mencoba berbagai jenis penis hingga kini.