Keadaan
di rumah jadi berubah setelah sebuah pertanyaan terlontar darinya di
malam itu. Aku dan Riri telah menikah selama 21 tahun, kami mempunyai
seorang anak lelaki, Angga. Riri adalah seorang ibu rumah tangga dan
sejauh yang kutahu dia selalu setia. Waktu itu kami sedang membaca di
atas tempat tidur untuk menghabiskan malam, saat dia menanyakan
pertanyaan yang tak terpikirkan itu.
"Apa kamu pernah menyetubuhi ibu kandungmu?"
"Pernah apa?" aku bereaksi dengan terkejut.
"Kamu mendengarnya." lanjutnya.
"Waktu kamu muda dan masih ikut orang tua, pernahkah kamu bersetubuh dengan ibu kandungmu?"
"Pertanyaan seperti apa itu?" tanyaku.
"Ini
bukan pertanyaan mengada-ada.. Kenyataannya itu hal yang kerap terjadi,
cuma orang-orang tak mau membicarakannya. Saat kamu muda aku dapat
mengerti jika kamu menyimpan rahasia seperti itu, jadi ayahmu tak
mengetahuinya, tapi itu sudah berlalu dan kupikir kamu dapat
menceritakannya pada isterimu sekarang, kan?" tanyanya.
"Tidak, aku tak pernah melakukannya dengan ibuku. Dan aku yakin itu hal yang tabu dan melanggar hukum." aku menegaskan.
Isteriku terdiam.
"Yah, jadi itu tak layak dan kemarin aku dengar 90% orang yang menikah mengakui pernah melakukannya." jawabnya.
"Jadi, aku harap perkawinan kita salah satu dari yang 1% itu." kataku.
Riri memejamkan matanya dan tersenyum.
"Jadi kamu setidaknya mempunyai fantasi untuk melakukannya kan?" tanyanya.
"Tidak, aku tak pernah membayangkannya, demi Tuhan dia adalah ibu kandungku!" aku berteriak.
Isteriku menggelengkan kepalanya.
"Pembohong." katanya.
"Sebagian
besar remaja berfantasi untuk menyetubuhi ibunya, ini kenyataan yang
umum. Kamu berfantasi untuk menyetubuhi ibumu seperti halnya Angga yang
berfantasi untuk menyetubuhiku."
"Riri, itu gila, bagaimana kamu dapat beranggapan seperti itu terhadap anakmu sendiri?" tanyaku.
"Karena
itulah kenyataannya.. Angga tak berbeda dengan remaja lain seumurannya
yang bermimpi tentang apa yang ada di antara paha ibu mereka saat ayah
mereka pergi kerja. Itu benar-benar alami." katanya.
"Kamu tak tahu tentang hal itu." kataku.
"Sayang, percayalah padaku, aku adalah ibunya dan seorang ibu tahu hal-hal seperti itu." katanya.
"Oh, ayolah Ri, kamu bertingkah sepertinya kamu tahu apa yang anak-anak pikirkan." kataku.
"Seorang ibu biasanya tahu lebih dari apa yang kamu kira." katanya.
"Oh, benarkah, jadi apa yang kamu tahu tentang Angga yang tak kumengerti?" tanyaku jengkel.
"Aku
tahu kalau dia bermasturbasi tiga kali sehari, kadang empat kali. Dia
berfantasi sedang menggesekkan penisnya di antara pahaku. Dia mengambil
keranjang cucianku saat aku dan kamu sedang pergi dan senang menghirup
dan menghisapi celana dalamku yang kotor. Dia juga senang dengan wanita
yang berdada besar, terutama yang sedang hamil.. Apa kamu mau tahu lebih
banyak lagi?" tanyanya.
Aku terdiam oleh perkataannya.
"Bagaimana kamu tahu semua itu?" tanyaku. Riri tersenyum puas.
"Seorang ibu mempunyai caranya sendiri." jawabnya
"Yakin kamu tak membicarakan dengannya tentang hal ini?" tanyaku.
"Sayang,
segera setelah kamu pergi kerja dan melakukan pekerjaan hingga tak
begitu memperhatikan Angga dan aku, seorang ibu dan anak mempunyai
dunianya sendiri di sini di rumah, yang tak harus diperhatikan oleh
seorang anak." katanya.
"Riri, kamu dan Angga tidak.." aku tak dapat menyelesaikan.
"Bersetubuh?" dia berkata dengan tersenyum.
"Jika
aku menyetubuhi anakku sendiri, artinya aku sangat menarik baginya. Itu
bukan topik yang akan dibicarakan seorang isteri pada suaminya." Aku
mulai merasakan darahku bergolak.
"Riri, tolong katakan padaku, ya atau tidak. Apa kamu dan Angga telah melakukannya?" aku mendesaknya.
Seiring wajahku memerah, isteriku tertawa dan menjulurkan jarinya ke wajahku dengan lembut.
"Sayang, kamu membuat hal ini jadi rumit. Ini sangat mengganggumu ya?" dia bertanya sambil menahan tawanya.
"Aku hanya berpikir kalau aku berhak untuk tahu!" kataku.
"Tidak,
kamu tidak perlu mengetahuinya. Sayang, aku mencintaimu, sebagai ayah
dan suami, tapi tidak ada tempat di antara hubungan antara seorang ibu
dan anaknya. Apa yang terjadi di rumah ini saat kamu pergi bukanlah
urusanmu dan tak perlu perhatianmu. Kalau seorang ibu dan anaknya di
rumah ini bersetubuh, maka kamu tak berbeda dengan ayah yang lainnya dan
tak akan pernah tahu tentang itu." katanya. Dia memberiku sebuah
senyuman hangat.
"Kamu sudah capek dan kamu punya hari yang sibuk besok. Tidurlah sekarang." katanya.
Malam
itu aku tak benar-benar bisa tertidur. Pagi harinya, aku bangun seperti
biasa dan Riri menyiapkan sarapan untukku dan mengantarku sampai pintu
depan. Dia memakai baju terusan yang membuat payudaranya begitu terlihat
indah menantang. Aku lihat Angga turun dari tangga dengan mengenakan
celana pendek.
"Dia bangun lebih awal." kataku.
"Ya, aku
bilang padanya dia bisa bantu ibunya mengecat kuku dan mencuci baju yang
kotor." dia berkata sambil meringis. Perutku melilit.
"Jadi apalagi yang kalian kerjakan hari ini?" tanyaku curiga.
"Oh, aku yakin kami akan menemukan sesuatu yang bisa mempererat hubungan kami." jawabnya sambil tersenyum lebar.
"Lebih baik kamu segera berangkat, sayang. Kamu nanti bisa terlambat lho."
Aku
berjalan keluar dengan membanting pintu. Waktu aku berjalan ke mobil,
aku dengar isteriku mengunci pintu di belakangku dan berpikir dunia
macam apa yang telah dibuat isteriku bersama Angga saat aku tak ada.
Tanpa sadar, penisku terasa mengeras dari balik celanaku. Sial,
seharusnya aku lebih dekat dengan ibuku!
Seharian itu aku tak
bisa berkonsentrasi pada pekerjaan. Otakku dibakar oleh beribu
pertanyaan. Apakah isteriku dan anakku yang berumur 18 tahun berbuat
gila? Akhirnya, siangnya aku ambil telepon dan memutar nomor rumahku
agar aku bisa tahu dengan jelas apa yang mereka kerjakan di dunianya.
Setelah cukup lama tak ada yang mengangkat, akhirnya terdengar suara
isteriku di sana.
"Hh.. Halo.." Dia berkata. Aku dapat mendengarnya bernafas dengan susah.
"Halo sayang, ini aku." jawabku.
Terdengar suara ganjil berulang-ulang di belakang, seperti suara kulit yang beradu dengan kulit.
"Sayang, a.. aku tak bis.." dia mencoba bernafas dengan susah.
"Aku tak bisa bicara sekarang, telepon aku lagi saja nanti." lanjutnya.
KLIK!!
Dia tutup teeponnya. Perutku tiba-tiba saja jadi terasa mulas. Aku tak
pernah membayangkan isteriku akan berselingkuh, apalagi dengan anak kami
yang masih remaja. Mungkinkah itu?
Aku pulang kerja lebih awal
hari itu. Aku ingin mengadakan penyelidikan. Aku harus yakin. Aku lalui
jalan hanya untuk melihat isteri dan anakku yang keluar dari jalan
dengan minivan isteriku. Aku ikuti mereka ke mall pada sisi lain kota
ini. Dengan mengendap, aku masuki mall itu dan mengikuti mereka dari
belakang.
Aku terkejut saat melihat mereka berjalan bergandengan
tangan dengan mesra, layaknya sepasang kekasih yang sedang belanja.
Tingkah laku isteriku seperti seorang gadis remaja saja. Aku mengikuti
isteri dan anakku yang berkeliling di seluruh mall ini, bergandengan
tangan seperti remaja yang sedang kasmaran. Paling tidak, dia sudak tak
muda lagi, umurnya sudah 38 tahun dan sudah menikah dan yang satunya
anak muda yang baru berumur 18 tahun. Walaupun begitu, isteriku dapat
mengimbanginya. Dia tak pernah semesra itu denganku, tapi benar-benar
lain dengan anakku.
Aku jadi lebih terkejut lagi saat mereka
duduk berdua di bangku itu. Lengan isteriku melingkar di pundaknya,
membelai mesra rambutnya. Bibirnya mendekat, membisikkan padanya sesuatu
yang dapat kukira hanyalah cumbuan tentang seks. Aku tak mahir dalam
hal membaca gerak bibir, tapi sungguh jelas sekali kalau yang keluar
kebanyakan hanyalah 'bersetubuh, penis dan vagina' dari mulut isteriku.
Kalau itu belumlah cukup, isteriku melepaskan sandalnya dan menggerakkan
kakinya pada betis anakku. Setiap sekali gerakan disertai dengan tiupan
dan ciuman ringan di leher anakku.
Mereka meninggalkan mall dan
aku memastikan kalau aku akan mengikuti mereka pulang, tapi mereka
tidak pulang. Isteriku mengendarai mobilnya membawa mereka keluar kota
sampai ke hutan. Dia berhenti di jalanan yang sedikit berlumpur dan itu
membuatku terperanjat saat mengetahui kemana dia akan membawanya. Mereka
akan pergi ke bagian rahasia di hutan ini, tempat dimana aku dan
isteriku biasanya berkencan dulu.
Tahu tepatnya tempat itu, aku
parkirkan mobilku dan melanjutkan membuntuti mereka dengan berjalan
kaki. Lima belas menit kemudian aku menemukan van isteriku terparkir di
bawah semak-semak. Aku juga melihat mereka tak mau menyia-nyiakan waktu
sedikit pun. Jendela mobil tertutup rapat dan van itu terlihat
bergoncang-goncang. Aku mendekat dan segera saja telingaku menangkap
erangan-erangan mesum mereka.
"Oh, ya.. Lebih keras, sayang, setubuhi ibumu dengan benar!" isteriku merajuk.
"Oh Tuhan, tekan!! Kerjai vaginaku, sayang!!" dia berteriak.
"Hahh, dorong penis besarmu lebih dalam lagi.. Oouuhh!!" lanjutnya.
Dan bila kata-kata tak senonoh itu belumlah cukup, selang beberapa menit kemudian,
"Oh,
rasanya sungguh nikmat dikerjai oleh pria jantan. Ya, begitu, lebih
keras lagi.. Leb.. Bih dallaam!! Oh Tuhan aku keluar!! Aku keluar!!"
Aku
tak mampu menerimanya lagi. Yang dapat kulakukan hanya berbalik
kemudian lari. Aku lari secepat yang kubisa menuju ke mobilku. Aku masih
dapat mendengar isteriku menjerit dan mengerang, suaranya bergema dalam
kepalaku. Aku nyalakan mobilku, hatiku mendidih, air mataku keluar. Aku
menyetir dengan gila.. Dalam perjalanan pulangku, bayangan tentang
anakku yang berada di antara paha isteriku menghantui aku. Apa yang
harus kuperbuat?
Malam itu aku dan isteriku berbaring
berdampingan di ranjang perkawinan kami. Dia memegang sebuah majalah dan
berpura-pura membacanya. Tak lama kemudian dia meletakkan majalah itu
dan menatapku.
"Sayang, ada sesuatu yang harus kuceritakan padamu." katanya.
"Apa?" tanyaku, bersiap untuk hal terburuk, setidaknya dalam hal ini tak ada yang akan mengejutkanku.
"Aku hamil." dia berkata dengan senyuman mengembang.
Tak
sekali pun dalam setahun belakangan ini aku menggauli istriku tanpa
kondom. Dia tahu itu, aku tahu itu, dan dia pasti juga tahu bahwa aku
mengetahuinya.
"Ini bukan bayiku, kan?" tanyaku. Senyumnya hampir menyerupai seringai.
"Tidak." jawabnya.
"Angga?" kejarku.
Istriku menjadi serius.
"Sebelum
kamu pergi, biarkan aku mengingatkanmu kalau ayahku adalah seorang
pengacara dan jika kamu menceraikanku, kamu tahu bahwa Angga dan aku
akan mendapatkan ini semua, segalanya, dan kamu tak mendapatkan apa
pun." ancamnya
"Sudah berapa lama kalian berdua melakukan ini?" aku bertanya.
"Kamu
tidak perlu tahu itu. Yang harus kamu ketahui sekarang adalah bahwa
Angga dan aku telah memutuskan ada hal-hal yang perlu diubah." katanya.
"Seperti apa?" tanyaku dengan marah.
"Yah, pertama, kami akan mempertahankan bayi ini dan ya, ini memang bayiku dengan Angga." jelasnya.
"Yang
kedua, Angga akan pindah ke kamar ini dan berbagi tempat tidur
denganku, dan sebaliknya mulai sekarang kamu tidur di tempat tidurnya
Angga." lanjutnya.
Aku hanya bisa menahan amarah.
"Dan
yang ketiga, kalau kamu menolak, aku dan Angga akan pindah dan
mengontrak sebuah rumah bersama dan menuntut uang cerai darimu." katanya
memojokkanku.
"Ini gila, kamu adalah istriku.."
"Ya, dan kamu
suamiku, dan akan tetap seperti itu, tapi suami sebenarnya dan kekasihku
sekarang adalah Angga. Dan kami memutuskan bahwa kamu harus tetap
bekerja seperti biasanya sedangkan Angga dan aku akan tinggal di rumah
membuat bayi, kami juga sudah memutuskan ingin mempunyai tiga orang anak
lagi." katanya.
"Kamu katakan padaku kalau aku bahkan tidak boleh tidur denganmu, isteriku sendiri?" tanyaku tak percaya.
"Tidak, maaf. Angga dan aku yang akan tidur di ranjang ini mulai sekarang." Lalu dia memandang ke arah pintu.
"Angga, cintaku, apa kamu di sana?" panggilnya.
Anakku masuk ke kamar dengan tas ransel berisi barang-barangnya. Dia memandang pada ibunya dan aku.
"Maaf, Ayah." dia berkata dengan menyeringai.
"Sayang, kenapa kamu tidak pergi dan bersihkan dirimu sebelum naik ke ranjang." kata isteriku.
Perutku jadi mulas. Isteriku menatapku tajam.
"Kalau
kamu tidak keberatan, aku ingin sendirian dengan ayah dari anakku.
Ambil barang-barangmu dan pergilah ke kamarmu." perintahnya.
"Sayang, tolonglah.. Kita bicarakan hal ini." aku memohon.
"Tak
ada yang perlu dibicarakan lagi. Aku minta maaf, Sayang, tapi sekarang
kamu bukan lagi seorang kepala rumah tangga." katanya.
"Aku akan berusaha, aku bersumpah." ucapku putus asa.
"Jangan,
Sayang! Kamu boleh berusaha semampumu tapi kamu tidak akan bisa
menyamai bahkan hanya separuh dari Angga di atas ranjang. Kamu tak bisa
memohon padaku, kamu tak memiliki stamina untuk itu. Suka atau tidak,
kamu tidak memiliki barang yang cukup besar untuk pekerjaan itu.. Dan
anakmu memilikinya."
Serasa sebilah pisau yang merobek hati. Aku
bangkit dari tempat tidur dan mengemasi barang-barangku. Angga keluar
dari kamar mandi dan menempatkan dirinya di samping ibunya di ranjang.
Dia berada di bawahnya dengan cepat, memeluknya erat hingga menekan
payudaranya yang besar.
"Inilah suami baruku. Kemari dan bercintalah dengan isterimu yang sedang hamil" katanya.
Itu
semua serasa mimpi buruk. Aku pandangi mereka berdua di balik selimut.
Bisa kukatakan anakku sedang menempatkan dirinya di antara paha ibunya.
Aku dapat mendengar mereka berciuman dengan hebatnya. Isteriku muncul
dari balik selimut, memandangku.
"Sayang, dapatkah kamu matikan lampu dan menutup pintunya saat kamu keluar?" pintanya. Aku hanya bisa mematuhinya.
Malam
itu aku rebah di tempat tidurku yang baru dengan mendengarkan
teriakan-teriakan yang berasal dari kamar yang semula kutempati bersama
isteriku. Erangan isteriku menggema di setiap sudut rumah. Semalaman itu
aku dengar rangkaian rintihan tabu mereka. Isteri dan anakku sedang
membuat bayi mereka dan akan menamakannya seperti nama ayahnya.
Tahun
demi tahun berlalu dan mereka telah memiliki 3 anak, semuanya
laki-laki. Seiring waktu berlalu, anak-anak itu tumbuh jadi remaja,
Angga tua telah menemukan seorang wanita muda yang cantik dan atas
seijin ibunya boleh dinikahinya.
Kemudian Angga pindah dan
meninggalkan anak-anaknya bersamaku dan ibunya. Dalam beberapa tahun
kemudian aku kembali pada kehidupan rumah tanggaku semula, hingga pada
suatu malam saat kami sedang rebahan di atas tempat tidur seperti biasa,
terdengar ketukan di pintu dan Angga muda, yang sekarang juga telah
berumur 18 tahun, berdiri di sana dengan tas ranselnya. Isteriku, yang
sekarang berusia lima puluhan meletakkan majalahnya dan kembali menoleh
padaku dengan tersenyum.
"Kemasi barang-barangmu, sayang." katanya.
Isteriku kembali menatap tajam padaku.
E N D