Dony,
begitu nama panggilanku. Tumbuh sebagai laki-laki aku boleh dibilang
sempurna baik dalam hal ketampanan maupun kejantanan dengan tubuhku yang
tinggi tegap dan atletis. Dalam kehidupan aku juga serba berkecukupan
karena aku adalah juga anak angkat kesayangan seorang pejabat sebuah
departemen pemerintahan yang kaya raya.
Saat ini aku kuliah di
kota Bandung, di situ aku menyewa sebuah rumah kecil dengan perabot
lengkap dan untuk pengawasannya aku dititipkan kepada Oom Rony, sepupu
ayahku yang juga pemilik rumah untuk memperhatikan segala kebutuhanku.
Oom Rony adalah seorang pejabat perbankan di kota kembang ini dan dia
kuanggap sebagai wali orang tuaku. Sekalipun aku sadar ketampanan dan
segala kelebihanku digila-gilai banyak perempuan, namun aku masih belum
mencari pacar tetap. Untuk menyalurkan hobby isengku saat sekarang ini
aku lebih senang dengan cewek-cewek yang berstatus freelance atau cewek
bayaran yang kunilai tidak akan membawa tuntutan apa-apa di belakang
hari. Begitulah, pada tahun keempat masa kuliahku secara kebetulan aku
mendapat seorang teman yang cocok dengan seleraku. Seorang gadis
berstatus pembantu rumah tangga keluargaku tapi penampilannya cantik
berkesan gadis kota. Jadinya konyol, di luaran aku terkenal sebagai
pemuda mahalan kelas atas tapi tanpa ada yang tahu justru partner tetap
untuk ber-”iseng”-ku sendiri adalah seorang gadis kampung yang status
sosialnya jauh di bawahku.
Sriwasti nama asli si cantik anak bekas
pembantu rumah tangga orangtuaku, tapi lebih akrab dipanggil dengan
Wasti. Sewaktu mula-mula hadir di tempatku ini dia memang meringankan
aku tapi juga membuat aku jadi panas dingin berada di dekatnya. Pasalnya
dulu aku pernah punya skandal hampir menggagahi dia sehingga dengan
kembalinya dia kali ini dalam status istri orang tapi tinggal kesepian
ini tentunya menggali lagi gairah rangsanganku kepadanya. Usianya 3
tahun lebih muda dariku, dia dulu dibiayai sekolahnya oleh orangtuaku
dan ketika tamat SMA dia pernah beberapa bulan bekerja membantu-bantu di
rumahku sambil berusaha masuk Akademi Perawat. Sayang dia gagal dan
kemudian pulang kampung lagi untuk menerima lamaran seorang pemuda di
tempat asalnya itu.
Waktu masih di rumah orangtuaku itulah aku
yang tertarik kecantikannya, kalau pulang dari Bandung sering iseng
menggoda dia, suatu kali sempat kelewatan nyaris merenggut kegadisannya.
Sebab di suatu kesempatan Wasti yang memang kutahu menaruh hati padaku
sudah pasrah kugeluti dalam keadaan bugil hanya saja karena aku masih
tidak tega dan juga masih takut sehingga urung aku menodai dia. Kuingat
waktu itu secara iseng-iseng aku sengaja ingin menguji kesediaannya
yaitu ketika ada kesempatan dia kuajak ke dalam kamarku. Beralasan
meminta dia memijati aku tapi sambil begitu kugerayangi dia di
bagian-bagian sensitifnya. Ternyata dia diam saja tidak berusaha untuk
menolakku, sehingga aku meningkat lebih terang-terangan lagi. Susunya
memang menggiurkan dengan bentuknya yang membulat kenyal tapi aku masih
mengincar lebih ke bawah lagi. “Was gimana kalau kamu buka dulu celana
dalammu, Mas Dony pengen gosok-gosokin yang enak di punyamu,” bujukku
dengan tangan sudah meraba-raba di selangkangannya.
Wasti tersipu-sipu dengan gugup ragu-ragu, meskipun begitu menurut saja dia untuk membuka celana dalamnya yang kumaksudkan itu.
“Ta.. tapi.. nggak apa-apa ya Mass..?” kali ini terdengar nada tanya kuatirnya.
Aku yang memang cuma sekedar menguji segera menenangkan dia.
“Oo tenang aja, nggak Mas masukin inimu cuma sekedar ditempel-tempelin
aja kok..” jawabku sambil juga menurunkan celana dalamku memamerkan
batangku yang sudah setengah tegang terangsang.
Kuambil tangannya
dan meletakkan di batang kemaluanku meminta dia memainkan batang itu
dengan genggaman melocok, ini diikuti Wasti mulanya dengan wajah kikuk
malu tapi toh dia mulai terbiasa juga. Nampak tidak ada tanda-tanda
risih karena baru kali ini dia melihat batang telanjang seorang
laki-laki. Layap-layap keenakan oleh kocokannya sambil begitu sebelah
tanganku juga ikut meremasi susu bergantian dengan bermain di liang
kemaluannya. Lama-lama terasa menuntut, kuminta Wasti merubah posisi
bertukar tempat, dia yang berbaring setengah duduk tersandar di kepala
tempat tidur, dari situ aku pun masuk duduk berlutut di tengah
selangkangannya.
Dalam kedudukan ini tangan Wasti bisa mencapai
batanganku dan melocoknya tepat di atas liang kemaluannya sementara
kedua tanganku yang bebas bisa bermain dari kedua susu sampai ke liang
kemaluannya. Lagi-lagi Wasti memperlihatkan air muka khawatir karena
dikira aku sudah akan menyetubuhinya tapi kembali kutenangkan dan
menyuruh dia terus melocok dengan hanya menggesek-gesek ujung kepala
batang kemaluan di celah menguak liang kemaluan berikut klitorisnya.
Cukup terasa enak buatku meskipun memang penasaran untuk berlanjut lebih
jauh, tapi begitupun aku bisa menahan emosiku sampai kemudian
locokannya berhasil membuatku berejakulasi. Menyembur-nyembur maniku
tumpah di celah liang kemaluannya yang terkuak mengangkang, tapi sengaja
kutahan tidak kutusukkan di lubang itu. “Huffhh pinterr kamu Was..
besok-besok bikinin lagi kayak gini ya?” kataku memberi pujian ketika
permainan usai. Wasti mengangguk malu-malu bangga dan sejak itu setiap
ada kesempatan aku ingin beriseng, dia yang kuajak dan kugeluti sekedar
menyalurkan tuntutanku. Memang, sampai dengan saat itu aku masih
bertahan untuk tidak mengambil keperawanannya karena masih terpikir
status kami yang berbeda. Aku majikan dan dia pembantu, padahal dalam
segalanya Wasti betul-betul seorang gadis yang mulus kecantikannya.
Dibandingkan dengan wanita-wanita cantik yang kukenal belakangan, Wasti
pun tidak kalah indahnya. Tapi itulah yang namanya pertimbangan status
padahal akhirnya aku toh bertemu lagi dan membuat hubungan yang lebih
jauh dengannya.
Di kampungnya Wasti dinikahi Ardi seorang pemuda
tetangganya, dia sempat beberapa bulan hidup bersama tapi ketika Ardi
yang lulusan Akademi Teknik, minta ijin selama setahun karena mendapat
pekerjaan sebagai TKI di suatu negara Arab, Wasti praktis hidup sebagai
janda sendirian. Begitu, untuk mengisi waktunya dia juga meminta ijin
agar bisa mencari pekerjaan tambahan dan dia pun teringat kepadaku
karena aku memang pernah menjanjikan hal itu kalau dia ingin mendapat
tambahan pencaharian. Ardi setuju karena aku sudah bukan asing bagi
mereka, maka sesaat sebelum Ardi berangkat ke Arab dia ikut mengantar
Wasti meminta pekerjaan padaku.
Kedatangan Wasti untuk menawarkan
tenaganya tentu saja tidak bisa kutolak tapi untuk tinggal bersama di
rumah sewaanku jelas akan mengundang kecurigaan orang, dia pun
kutawarkan tinggal sambil bekerja di sebuah tempat usahaku. Kebetulan
aku memang mengusahakan sebuah Panti Pijat yang sebetulnya dimodali Oom
Rony, sehingga kehadiran Wasti bisa membantu mewakili aku sebagai orang
kepercayaanku dalam mengawasi tempat pijat itu. Wasti langsung setuju
tapi waktu suaminya sudah berangkat meninggalkan dia barulah dia
berkomentar bingung soal pekerjaan itu.
“Tapi.., aku bener nggak disuruh kerja mijet Mas?” katanya agak keberatan dengan tugas yang belum dimengertinya itu.
“Ya enggak dong, kamu di sana Mas kasih tugas utama sebagai pengawas
tempat itu. Kalau soal mau belajar mijet sih boleh-boleh aja, malah
bagus supaya Mas bisa kebagian rasanya juga,” kataku sambil tersenyum
menggoda.
“Ngg.. gitu nanti ada yang ngajakin tidur aku, gimana Mas..?”
“Boleh, tapi minta ijin Mas dulu. Yang jelas Mas dulu yang pakai baru
boleh dikasih yang lain,” kataku tambah menggoda lebih jauh.
Di sini
Wasti langsung mesem malu-malu, tapi begitupun senang dengan tawaranku
untuk mewakili aku mengawasi usaha tempat pijatku. Dia kuberi kamar di
rumah yang kukontrak untuk usaha pijat itu tapi secara rutin seminggu
dua kali dia datang membantu membersihkan rumahku dan mengambil
baju-baju kotorku untuk dicucikannya.
Begitulah dengan adanya
Wasti yang seolah-olah membawa keberuntungan bagiku, usahaku pun semakin
bertambah ramai. Apalagi dia yang semula hanya bertindak sebagai tuan
rumah setelah mulai belajar teknik memijat dan mulai mempraktekkan
kepada tamunya, semakin banyak saja mereka yang datang mem-booking
Wasti. Antri para tamu itu hadir dengan niat ingin mencicipi asyiknya
pijatan sambil tentunya berusaha merayu agar bisa menikmati lebih dari
sekedar pijatan si manis Wasti ini. Tetapi mereka belum sampai ke situ
karena di bulan kedua kehadiran Wasti baru kepadakulah yang paling dekat
dengannya saat ini, dia memberikan keistimewaannya.
Karena sudah
pernah ada hubungan sebelumnya maka mudah saja bagiku untuk membuat
kelanjutan intim dengannya, cuma saja setelah beberapa lama baru
terpikir olehku untuk mencicipi dia. Waktu itu aku terserang muntaber
dan sempat seminggu aku terbaring di rumah sakit dengan ditunggui
bergantian oleh Wasti dan Indri kakak perempuanku yang sengaja datang
dari Jakarta untuk mengurusi sampai dengan kesembuhanku. Keluar dari
rumah sakit dan setelah melihat aku sudah mendekati pulih kesembuhanku,
Indri pun kembali lagi ke Jakarta dengan meninggalkan pesan pada Wasti
untuk tetap mengurusi sampai aku betul-betul sembuh. Lewat lagi dua hari
tenagaku kembali pulih seperti semula tapi seiring dengan itu mulai
timbul lagi tuntutan kejantananku dan kali ini aku berencana akan
menyalurkannya pada Wasti sebagai sasaranku yang paling dekat denganku
saat itu. Ini karena aku selama dirawat olehnya merasa lebih akrab
perasaanku dan berhutang budi sekali padanya.
“Tau nggak Was? Apa
yang pertama-tama mau Mas bikin kalau udah sembuh bener dari sakit ini?”
tanyaku mengajak dia ngobrol menjelang kesembuhanku.
“Apa tuh kira-kira Mas?”
“Mas kepengen begini..” kataku sambil memberi tanda ibu jari dijepit telunjuk dan jari tengahku.
Wasti langsung ketawa geli mendengarnya.
“Hik, hik, hik.. Mas Dony yang dipikir kok itu dulu. Emang puasa berapa hari ini udah kepengen banget sih?”
“Justru itu, kepingin sih jangan bilang lagi tapi coba tebak siapa nanti yang bakal Mas ajak tidur?”
“Hmm siapa ya? Mas sih banyak ceweknya mana Wasti tau siapa orangnya?”
“Orangnya ya kamu Was.”
“Ngg kok malah aku, kan masih banyak yang cakep lainnya Mas..” Wasti kontan tersipu-sipu malu seolah tidak percaya denganku.
“Yang Mas pilih emang kamu kok, sementara jangan dulu dikasih ke yang lainnya ya!” kataku sambil menarik dia mendekat kepadaku.
“Kasih siapa Mas, kan katanya harus ijin Mas dulu?”
“Makanya itu nanti Mas yang pakai dulu. Kasih Mas ya?”
Kali ini kususupkan tanganku ke selangkangannya mengusap-usap bukit
kemaluannya dan diterima Wasti dengan mengangguk sambil menggigit bibir
malu-malu.
Dia sudah bersedia dan ketika tiba saatnya, aku sengaja
mengajaknya keluar menginap di hotel karena aku ingin betul-betul bebas
berdua dengan dia. Maklum di rumah sewaanku masih kukhawatirkan Indri
ataupun keluargaku dari Jakarta akan muncul sewaktu-waktu sehingga tidak
terlalu aman rasanya. Segera aku pun bersiap-siap dan membuka lemari
untuk mengambil uang tapi ide nyentrikku mendadak timbul ketika
terpandang sweaterku yang tergantung di situ. Kuminta dia memakai
sweater itu tapi tanpa mengenakan apa-apa lagi di balik itu, ini memang
diturutinya tapi sambil meringis geli ketika sudah naik ke mobil duduk
di sebelahku.
“Mas ini ada-ada aja, masak aku cuma disuruh pakai kayak gini sih?”
“Kamu biar cuma pakai gini tetep keliatan manis kok Was,” kataku membesarkan hatinya.
“Tapi kan lucu Mas, di atasnya anget tapi di bawahnya bisa masuk angin..”
“Maksud Mas Donny begini supaya pemanasannya bikin cepet tambah
kepengennya. Sambil nyupir gampang megang-megangin kamu..” jelasku
dengan menjulurkan tangan ke selangkangannya sudah langsung merabai
liang kemaluan telanjangnya.
Wasti tersipu-sipu tapi toh menurut
juga ketika aku meminta dia menaikkan kedua kakinya ke atas jok sehingga
liang kemaluannya lebih terkangkang lebar, lebih leluasa tanganku
bermain di situ. Dia dari sejak dulu memang tidak pernah membantah
apapun permintaanku. Mengusap-usap bukit yang cuma sedikit ditumbuhi
bulu-bulu kemaluannya serta meremas-remas pipi menggembung dari bagian
kewanitaannya yang menggiurkan ini, terasa kenyal daging mudanya itu.
Dipermainkan begitu tangannya otomatis terjulur ke kemaluanku membalas
memegang seperti dulu ketika dia masih sering bermain-main dengan
milikku, tapi cuma sebentar karena segera dicabut lagi.
“Lho kenapa nggak diterusin?”
“Nggak ah, nanti keburu muncrat duluan. Mas kan udah puasa beberapa
hari pasti sekarang udah kentel susunya, kan sayang kalau keburu tumpah
di luar nanti Wasti nggak kebagian.”
“Lho kan dipanasin dulu botolnya nggak apa-apa. Siapa tau kelewat kentel malah nggak mau netes airnya nanti?”
“Masak nggak mau keluar Mas?”
“Oh iya lupa, kalau diperes-peres pakai lubang sempit ini memang pasti keluar sih. Tapi sambil dikocokin yang enak nanti ya?”
Rangsangan
selama perjalanan sudah mulai memanaskan gairah birahi kami, ketika
tiba di hotel kelanjutannya semakin membara lagi. Di hotel yang kupilih,
Wasti sudah kusuruh masuk ke kamar duluan sementara aku masih menutup
pintu mobil sebelum kususul dia di situ. Kubuka sekalian bajuku hingga
telanjang bulat sementara dia masih berlutut di sofa yang menempel dekat
jendela, pura-pura memandang ke luar mengintip lewat gordyn jendela.
Segera aku merapat dari belakangnya langsung membuka sweater
satu-satunya penutup tubuhnya, begitu sama telanjang bulat kupeluk dia
merapatkan punggungnya ke dadaku dan mulai mengecupi lembut lehernya
dengan diikuti kedua tanganku bermain masing-masing meremasi susu dan
bukit kemaluannya.
“Maass.. botolnya kerasa udah keras bener..” katanya mengomentari kemaluanku yang sudah mengencang menempel di atas pantatnya.
“Iya, udah ngerti dia sebentar lagi bakal ditumpahin isinya ke lobang ini,” jawabku singkat.
Kupondong
dia dan membaringkan di atas tempat tidur langsung kudekap dan
mencumbui dengan kecupan-kecupan seputar wajahnya dan usapan-usapan
tangan di sekujur tubuhnya. Kenangan lama terungkit, gemas-gemas sayang
rasanya dengan tubuhnya yang mulus lagi cantik ini. Ingin kulampiaskan
emosi nafsuku tapi seperti takut dia kesakitan oleh tenagaku, jadinya
setengah keras setengah tertahan serbuanku. Remasan tangan kuganti saja
dengan permainan mulutku, tanpa menghentikan kecupanku yang mulai
kujalari menurun ke leher menuju ke buah dadanya. Wasti selain mulus
bersih juga tidak berbau keringatnya sehingga enak untuk kucium-ciumi
dan kujilat-jilati. Tiba di bagian susunya, kedua bukit daging yang
putih membulat bagus lagi kenyal ini segera kukecap dengan mengisap
berganti-ganti masing-masing pentilnya. Mengenyoti bagian puncaknya,
kungangakan lebar-lebar mulutku serasa ingin memasukkan banyak-banyak
daging menonjol itu agar dapat kusedot sepuas-puasnya. Di dalam mulutku
lidahku berputaran menjilati pentilnya, menggigit-gigit kecil membuat
dia mengerang dalam geli-geli senang.
“Ssh ahngg.. geli Mass..”
suaranya merengek manja membuat aku semakin gemas bergairah. Air mukanya
mulai merah terangsang karena sambil begitu aku juga menambahi dengan
mempermainkan liang kemaluannya. Menggosok-gosok klitorisnya dan mulai
mencucukkan satu jariku mengoreki bagian mulut lubangnya. Ada satu yang
istimewa dan menyenangkatu yang istimewa dan menyenangkitu dia mempunyai
klitoris jenis besar yang jarang kujumpai pada kebanyakan
kemaluan-kemaluan perempuan. Aku sudah lama mengenal bagian ini tapi
masih juga seperti penasaran membawa aku merosot ke bawah untuk
memperhatikannya lebih jelas.
“Ihh.. Mas ini mau ngeliat apa sih..?”
Wasti rupanya kikuk malu dengan perobahan mendadakku. Tangannya bergerak ingin menutup bagian itu tapi cepat kusingkirkan.
“Kok mau ditutup sih, kan Mas kangen pengen ngeliat itil gedemu kayak dulu Was?”
“Hngg.. punyakku jelek kok mau-maunya diliat sih Mas..?”
“Kamu keliru, justru yang begini disenengin orang laki soalnya jarang ada..”
“Aaah Mas Dony menghibur ajaa. Apanya disenengin, jadi ketawaan malah..”
“Lho Mas sendiri udah keliling banyak cewek belum pernah dapet yang
gini. Udah denger cerita dari orang-orang baru Mas penasaran lagi sama
kamu Was..”
“Ngg abiiss Mas nggak dulu-dulu ngambilnya.. Sekarang
udah keburu diambil Kang Ardi duluan baru Mas minta, kan Wasti nggak
tega ngasihnya kalau udah bekas-bekas Mas..” timpal Wasti dengan air
muka membayangkan kecewa.
Melihat ini buru-buru aku menghibur.
“Tapi nggak apa, biarpun gitu Mas Dony juga tetep seneng sama kamu kok. Sini Mas bikinin buat kamu.”
Tanpa
menunggu jawabannya aku langsung menunduk dan menyosorkan mulutku di
celah itu. “Adduh Mass, Wasti nggak mau gitu..!” Kaget dia, ingin
mencegah tapi kedua tangannya sudah lebih dulu kupegangi masing-masing
tanganku. Sesaat dia membelalak seolah tidak percaya aku mau bermain
begini dengannya tapi sebentar kemudian terhempas kepalanya mendongak
dengan dada membusung kejang ketika tersengat geli kelentitnya kujilat
dan kugigit-gigit kecil. Sebentar kubiarkan dia tenggelam dalam nafsu
berahinya sampai terasa cukup baru kulepas permainan mulutku. Karena
sudah lebih dulu kuhisap kemaluannya maka ketika aku meminta dia
sekarang menghisap batang kemaluanku langsung diikutinya dengan senang
hati. “Nggak usah lama-lama Was, kasih ludah aja biar Mas masukin
sekarang..” kataku untuk tidak berlarut-larut dulu dalam permainan
pembukaan ini. Wasti cepat mengikuti permintaanku dan sebentar kemudian
dengan bantuan tangannya aku sudah menyusupkan batang kemaluanku masuk
di liang kemaluannya. Begitu terendam kutahan dulu untuk menurunkan
tubuhku menghimpit mendekapnya, mengawali dengan kecupan mesra di
bibirnya untuk mengembalikan rangsang nafsunya yang sempat menurun oleh
suasana tegang sewaktu menyambut batangku. Memang baru pertama kali buat
dia tapi terasa ada kerinduan yang dalam baginya sehingga terasa hangat
sambutannya.
Nikmatnya jepitan liang kemaluan mulai terasa
meresap, maklum, biasanya belum sampai 4 hari saja aku pasti sudah
ngeluyur untuk mencari partner isengku. Dengan sendirinya senggama
penyalur kerinduanku saat ini ingin kurasakan dengan senikmat-nikmatnya
tanpa perlu terburu-buru. Kebetulan lagi partnerku ini termasuk barang
baru yang muda lagi menggiurkan, jadi harus kuresapi asyiknya detik demi
detik agar betul-betul mendapatkan kepuasan penyaluran yang maksimum.
Setelah merasa cukup meresap asyiknya rendaman batang kemaluan dalam
hangat liang kemaluannya, aku pun mulai memainkan batangku memompa
pelan-pelan mencari nikmatnya gesekan batang. “Ssshh Waas.. enak sekali
memekmu.. sempitt rasanyaa..” Baru dua-tiga gesekan saja aku sudah
gemetar memuji rasa yang kuterima. Mukaku jadi tegang serius saking
asyik diresap nikmat, bertatapan sayu dengan matanya yang sama mesra
namun tergambar sinar senang dan bangga di situ.
Makin kupompa
makin meluap nikmatnya apalagi Wasti mulai menambahi dengan memainkan
liang kemaluannya mengocok lewat putaran pinggulnya. “Adduu Waass..
pinterr kammu ngocokknyaa.. tapi Mas kepengenn cepet keluarr diginiinn..
ssh mm..” Sudah terbata-bata suara gemetarku bukan asal memuji tapi
memang cepat saja aku dibuat tidak tahan oleh bantuan putaran
kemaluannya. Kepala batangankan kemaluannya. Kepala batangankukkan
cairan mani terkumpul di situ tinggal menunggu waktu untuk disemburkan
saja. Segera Wasti kudekap lagi dengan sebelah lengan di lehernya sedang
sebelah lagi menahan pantatnya, aku pun mengganti gerakan tidak lagi
menggesek tapi memutar batanganku dan menekan dalam-dalam sambil
mengajak dia bercium melumat hangat. Wasti menyambut ajakanku dengan
balas mendekap, kedua kakinya naik membelit pinggangku erat-erat.
Seperti mengerti kalau batang kemaluanku sudah dikorek dalam-dalam
berarti aku ingin mengajak dia berorgasme bersama-sama. Dia pun tidak
menahan-nahan lagi.
“Ayyo Wass.. Mass keluarinn yaa..?”
“Iyya, iyaa Mas.. sama-sama..”
“Hhaaghh..! dduhhss.. adduhh Wass.. Mass kelluarr.. sshhgh.. ahhgh.. hghh.. aah .. aahshg duuh.. hoh.. hngg hmm..”
Baru saja ajakan berorgasmeku disahut Wasti aku pun sudah meledak
mengaduh tiba di puncak kepuasanku. Bukan main! semprotan cairan maniku
serasa dahsyat menyembur-nyembur, menumpahkan seluruh kerinduanku
sepertinya panjang dan lama sekali diperas-peras oleh pijatan
kemaluannya sampai dengan tetesan yang terakhir. Aku sendiri tidak
memperhatikan lagi bagaimana partnerku ini ikut berorgasme karena bola
mataku sudah terbalik saking nikmatnya aku berejakulasi. Luar biasa,
jujur kukatakan bahwa inilah saat orgasme yang paling enak sejak aku
mulai bisa bersetubuh dengan perempuan. Kerinduan birahi nafsuku yang
tertunda cukup lama menurut ukuranku ini betul-betul mendapatkan
penyalurannya yang memuaskan sekali. Begitu puasnya sehingga ketika
tubuhku melemas Wasti masih tetap kupeluki dan kukecupi bertubi-tubi
seputar wajahnya diikuti pujian tanda senangku.
“Minn, Was.. kamu kok enak skali sih.. Mas Dony rasanya puas bener numpahin kepengennya sama kamu..”
“Enak nggak main sama Wasti, Mas?” masih dia bertanya manja namun dengan nada bangga di situ.
“Hmmsshh eenaak bener deh.. Ini ibarat lagi laper-lapernya dikasih kue enak langsung pas bener kenyangnya.”
Wasti tertawa senang.
“Wasti sendiri juga puas Mas diminumin susu kentelnya Mas Dony..” katanya sambil membalas mengecupi bibirku.
Berlanjut
lebih jauh tentang Wasti, ada suatu pengalaman Wasti yang ingin
kuceritakan di sini sejak dia bekerja di panti pijatku, yaitu tentang
keintimannya dengan Oom Rony. Oom Rony memang doyan dipijat tapi
merasakan dipijat seorang perempuan muda dia tidak pernah karena maklum
dia takut dicurigai orang kalau pergi ke panti-panti pijat, selain itu
Tante Yosi istrinya galak dan ketat mengawasinya. Maka ketika suatu kali
dia kubawa ke sebuah panti pijat secara sembunyi-sembunyi Oom Rony
langsung ketagihan. Itu sebabnya waktu kuusulkan untuk bekerja sama
mengusahakan sebuah panti pijat milik temanku yang hampir bangkrut, Oom
Rony segera setuju menyertakan modalnya atas namaku. Dengan begitu dia
bisa menyalurkan kesenangannya dipijati gadis-gadis muda karena cuma
beralasan pergi denganku saja baru Oom Rony bisa aman tidak dicurigai
Tante Yosi. Kami berdua diketahui Tante Yosi sering pergi memancing
sebagai salah satu hobby kami. Dari mulai sekedar dipijat ternyata mulai
meningkat kepingin beriseng dan gadis pemijat yang diincarnya justru
Wasti. Alasannya karena Wasti sudah dikenalnya sebagai orang dalam di
rumahku sehingga dia yakin Wasti tidak akan menuntut apa-apa padanya.
Aku sendiri semula tidak mengira kalau perkembangan pijat-memijat itu
jadi semakin jauh. Hal ini baru kuketahui ketika suatu sore Mas Didik
sopir sekaligus orang kepercayaan Oom Rony datang menjemput Wasti yang
kebetulan sedang membersihkan rumahku, kudapati Wasti gelisah dan kurang
enak air-mukanya.
“Mas, bilang aja aku sekarang udah nggak bisa,
udah pulang kampung, lalu Mas nawarin temen-temen lain aja..” katanya
membujuki aku di kamar sementara Mas Didik menunggu di ruang tamu.
“Lho tadi Mas ditelepon Bapak memang bilang kamu ada di sini kok, emang
kamu kenapa..? lagi capek ya mijetin Bapak sekarang? Kalau capek nanti
Mas yang ngomongin,” kataku menawarkan.
Bapak adalah menurut sebutan Wasti kepada Oom Rony.
“Nggak gitu Mas, tapi..” di sini dia berat untuk meneruskan dan memandangiku dengan malu-malu takut.
Aku
paham ada sesuatu yang disembunyikan dan kubujuk dia dengan lembut
sampai akhirnya Wasti pun mengaku bahwa meskipun sudah sering memijat
tapi baru belakangan ini Oom Rony terangsang untuk mengajak Wasti
ber-”iseng”. Permintaan ini berat karena Wasti merasa kikuk dan sungkan
sekali kepada Oom Rony dan untuk itu dia berusaha menolak dengan yang
terakhir kali dia memberi alasan sedang haid. Jelas alasan yang begini
cuma mengulur waktu saja sehingga untuk yang berikut ini Wasti merasa
tidak bisa menolak lagi. Itu sebabnya dia jadi gelisah serba salah
terhadapku. Mendengar sampai di sini aku cuma tersenyum membuat Wasti
jadi lega. Memang, baik aku maupun dia sebenarnya sama mengerti bahwa
Oom Rony sebagai laki-laki wajar kalau sesekali kepengen ber-”iseng” di
luaran. Cuma saja bagi Wasti dia berat karena dia takut aku tersinggung
dan marah kepadanya. Begitu, agak beberapa saat kami terdiam mencari
jalan keluar tapi akhirnya kuanjurkan Wasti untuk memberi saja.
“Iddihh Mas Dony kok malah nyuruh ngasih, gimana sih?!” nadanya terdengar agak kurang enak dengan usulku.
“Gini Was, kamu kan ngerti kalau Bapak susah mau ‘ngiseng’ begini di
luaran. Kebetulan bisa ketemu kamu yang udah dianggap deket bisa nyimpan
rahasia, kan nggak apa-apa kalau diikutin sekali-sekali. Dijamin deh
Mas Dony nggak marah soal ini.”
Mendengar dari aku sendiri yang
berbicara seperti itu hanya membuat dia terdiam berpikir sebentar tapi
kemudian menyetujui anjuranku. Setelah mendapat ijin khusus dariku Wasti
pun bersedia untuk pergi memijat Oom Rony di hotel tempatnya menginap.
Hotel itu adalah tempat rahasia Oom Rony dan tidak ada yang tahu kecuali
Mas Didik yang membawa ke situ.
Kami bertemu lagi keesokkan
harinya di panti pijat, rasa penasaran kubawa dia ke sebuah kamar untuk
mendengarkan pengalamannya dengan Oom Rony sambil meminta dia memijati
aku. Wasti yang ditanya soal semalam langsung menyembunyikan muka
malunya di dadaku belum langsung menjawab.
“Lho kok masih berat
nyeritainnya, kan Mas udah ngasih ijin? Gimana, kesannya asik atau nggak
kan Mas kepengen tau?” tanyaku mendesak terus.
“Kesannya.. Aaa.. maluu aku Maass..!”
Wasti menjerit malu makin membenamkan wajahnya ke dadaku. Kutunggu
beberapa saat sampai malunya mereda barulah dia mau bercerita
pengalamannya malam tadi.
Seperti yang sudah dibayangkan Wasti,
baru saja memijat sebentar bagian punggung Oom Rony sudah berbalik minta
dipijat bagian depan. Di situ sambil mengambil tangan Wasti untuk
memijati seputar selangkangannya dia mulai memancing-mancing jawaban
Wasti tentang kesediaannya untuk memenuhi ajakan ber-”iseng”-nya waktu
itu. Wasti meskipun merasa sudah tidak ada yang diberati tapi masih
kikuk untuk mengiyakan langsung. Dia hanya menggigit bibir malu-malu
meskipun begitu tangannya bekerja juga menyusup di balik handuk yang
dikenakan Oom Rony dan segera memijat daerah selangkangan yang dimaksud
untuk merangsang kejantanannya. Jelas cepat saja batang itu naik
menegang.
“Ihhng.. cepet bener bangunnya Bapak punya..” katanya mengomentari batang kemaluan kencang Oom Rony di genggamannya.
“Makanya itu, biar nggak tambah penasaran sebaiknya diselesaikan sama
kamu Was?” jawab Oom Rony sambil merayapkan tangannya dari belakang
pantat Wasti menyusup mengusapi tengah selangkangannya.
“Mmm.. tapi
mesti dilicinin dulu Pak..” lagi-lagi Wasti tidak menjawab langsung,
hanya mengambil cream pemijit dan melumuri seputar batang itu agar
menjadi licin.
Sekarang Oom Rony mengerti bahwa Wasti sudah bersedia
menyambut ajakan ber-”iseng”-nya, dia beraksi lebih dulu membuka
belitan handuk yang dipakainya.
“Kalau gitu ke sini aja supaya nggak
habis waktunya. Ayo buka dulu bajumu terus naik sini Nduk!” kata Oom
Rony terburu-buru saking senangnya.
Wasti berhenti dan mengikuti
permintaan Oom Rony untuk segera membuka bajunya. Tapi meskipun sudah
terbiasa bertelanjang bulat di depan lelaki, tidak urung dengan majikan
besarnya ini Wasti merasa kikuk sekali. Lebih-lebih waktu ditarik
berbaring bersebelahan disambut masuk dalam pelukan Oom Rony yang
langsung menyerbu dengan remasan gemas dan ciuman bernafsu di seputar
lehernya, Wasti jadi risih karena merasa tidak pantas dengan besarnya
perbedaan status di antara kedua mereka.
Sekalipun sudah dicoba
memejamkan mata dan menghayalkan dia sedang digeluti salah seorang
langganan “Oom Senang”-nya tapi tetap saja terbawa sebagai majikan besar
ini sulit hilang, sehingga Wasti seperti kaku tidak berani bergaya
manja-manja genit. Padahal Oom Rony sudah tidak perduli soal status dan
jabatannya, juga tidak perduli dengan status lawan mainnya. Yang dia
tahu saat itu ialah si gadis pembantu yang cantik ini begitu menggiurkan
dalam penampilan polosnya sehingga Oom Rony yang sedang mendapat
kesempatan menggelutinya pun tambah lebih bersemangat lagi.
Dari
mulai kedua susunya, sudah habis-habisan masing-masing daging kenyal
yang bulat montok itu diremasi dan disosor rakus mulut Oom Rony.
Disedot-sedot bagian puncaknya sam-bil dikulum pentilnya digigit-gigiti
kecil membuat Wasti menggelinjang kegelian, begitu juga seputar tubuh si
cantik sudah rata dijelajahi rabaan tangan Oom Rony yang sibuk
penasaran. Mendarat di selangkangannya bukit daging setangkup tangan itu
pun diremasi gemas, jarinya mengukiri celah hangat mengiliki kelentit
dengan gemetar bernafsu. Semakin Wasti meliuk erotis semakin merangsang
nafsu Oom Rony sampai akhirnya dia tidak tahan berlama-lama lagi. Dia
pun berhenti dan segera mengambil ancang-ancang untuk mulai menyetubuhi
Wasti. Menangkap bahwa Wasti mungkin masih kikuk dengannya, Oom Rony
meminta Wasti berbalik agar dia bisa memasuki dari arah belakang. Ini
diikuti Wasti tapi belkang. Ini diikuti Wasti tapi belOom Rony sudah
merapat menepatkan sendiri ujung batang kemaluannya dan langsung menekan
masuk.
“Tapi.. lho, lhoo, lhoo..?!” Wasti sampai menjengkit
dengan meringis bengong karena dia merasakan suatu kesalahan tusuk pada
lubangnya. Bukan di lubang kemaluan tapi justru lubang anusnya yang
disodok batang itu. Dan konyolnya baru saja dia akan memperbaiki sudah
keburu keluar komentar Oom Rony. “Ssshhmm.. enakk Waass.. sempit sekali
punyakmuu hhshh..” baru terjepit sudah langsung dipuji rasanya. Wasti
jadi urung membetulkan karena dia kuatir Oom Rony tersadar dan malu
hati, malah hilang selera nafsunya dan batal meneruskan permainan. Biar
saja, mumpung suasana kamar remang-remang gelap mudah-mudahan sampai
dengan selesai Oom Rony tidak menyadari kekeliruannya. Syukur, Oom Rony
memang kelihatan bernafsu sekali terasa dari sodokannya yang gencar
dengan tubuh gemetaran persis seperti anjing sedang dalam siklus
birahinya. Maklum, dia betul-betul lapar sekali menyetubuhi partner muda
seperti ini. Dan melihat ini Wasti menambahi dengan bantuan goyangan
pinggulnya mengocok batang itu, maka tidak berlama-lama lagi sebentar
kemudian terdengar tenggorokan Oom Rony menggeros tersendat-sendat
ketika dia berejakulasi memuntahkan cairan maninya. Itulah apa yang
dialami Wasti ketika melayani Oom Rony semalam.
“Tapi urusannya
sekarang gimana nih, semalem yang ini dipakai juga nggak, kalau nggak
biar Mas Dony yang ngisi sekarang?” tanyaku menggoda sambil menyusupkan
tanganku meremas langsung kemaluan telanjangnya. Wasti memang selalu
bertelanjang bulat jika memijati aku.
“Main yang keduanya memang
dipakai juga, tapi biarpun gitu asal yang mau ngasih lagi Mas Dony
sendiri tetep aja Wasti penasaran Mas..” jawabnya dengan mulai bermain
di kemaluanku.
“Kalau gitu pertamanya pakai yang depan dulu ya? Abis
itu baru masukin yang di belakang, soalnya Mas Dony juga jadi nafsu deh
denger ceritamu barusan.”
Wasti hanya mengangguk tersipu-sipu
menyetujui permintaanku. Memang, permainan anus ini dipelajarinya
dariku, jadi meskipun awalnya dulu dia kerepotan dengan batang
kemaluanku tapi sekarang sudah terbiasa dengan ukuranku. Tanpa menunggu
lagi dia pun segera mengencangkan batang kemaluanku. Dengan tekniknya
yang terlatih dia pun mengerjai batangku. Mula-mula dilocoki pelan
dengan genggaman tangannya sampai setengah menegang, setelah itu
diteruskan dengan kerja mulutnya yang mengulum dan mengisap, baru
setelah tegang kaku dia pun memasang dirinya untuk siap kusetubuhi.
Kalau sudah sampai di sini permainan asyik pun berlangsung sebagaimana
yang sering kami lakukan berdua. Yaitu seperti keinginanku, mula-mula
kuresapi pijatan lubang kemaluannya di batang kemaluanku tapi ketika
menjelang tiba ejakulasiku, barulah kupindahkan ke lubang anus untuk
menyelesaikan permainan dengan menyembur-nyemburkan cairan maniku di
situ.
Rupanya Oom Rony setelah mendapatkan Wasti bukan sekedar
ketagihan lagi tapi lebih dari itu dia ingin berlanjut memelihara Wasti
sebagai “gendak” peliharaannya. Kedengarannya enak buat Wasti tapi
begitupun dia selalu minta pendapatku dulu. Setelah berunding denganku
akhirnya kuberi jalan bahwa Wasti bersedia tapi hanya selagi suaminya
masih belum pulang saja. Syarat ini disetujui Oom Rony dan begitulah
Wasti langsung menghilang dari Panti Pijat tanpa ada yang tahu karena
sebenarnya dia sedang bersembunyi di rumah yang disewakan Oom Rony
untuknya. Akan tetapi sekalipun suaminya sudah ada, hubungan Oom Rony
dengan Wasti tetap berlanjut yaitu Oom Rony secara rutin memanggil Wasti
dengan alasan minta dipijati. Pasalnya Wasti semenjak dipelihara
sebagai langganan kesayangan Oom Rony kehidupannya bisa terjamin dimana
Wasti diberi modal untuk membuka sebuah usaha percetakan. Ini dianggap
hutang budi bagi Ardi karena setelah pulang dari Arab Ardi tidak medapat
pekerjaan lagi sehingga keluarga ini tergantung nafkahnya dari usaha
percetakan itu.
Berlanjut pada hubungan itu mulanya Wasti
dipanggil ke hotel seperti biasa tapi karena yang begini lama-lama
justru mengundang kecurigaan Ardi maka Wasti mengusulkan sebaiknya Oom
Rony datang ke rumahnya saja. Dengan berlaku seolah betul-betul akan
dipijati tapi diam-diam berhubungan badan, cara begitu malah aman tidak
akan dicurigai siapapun. Oom Rony menimbang-nimbang ternyata usul Wasti
benar dan begitulah hubungan unik ini berlangsung justru seperti
dilindungi oleh Ardi. Awalnya waktu siang itu sementara kedua suami
istri sibuk melayani percetakan di bangunan sebelah, Wasti memberitahu
Ardi bahwa hari ini adalah jadwal pertama kedatangan Oom Rony, dia pun
meminta tolong suaminya meneruskan pekerjaannya sendirian karena dia
sebentar lagi akan menerima langganan tetapnya itu. Ardi pun mengangguk
dan mengambil alih tugas itu, “Udah tinggal aja Was biar Mas yang
ngurus. Kamu cepet aja ganti baju nanti Oom Rony keburu dateng,” begitu
jawab Ardi.
Wasti pun bergegas masuk ke rumah untuk mempersiapkan
diri, dia bisa lega untuk menerima Oom Rony yang datang sesuai jam yang
dijanjikan. Singkatnya begitu Oom Rony muncul sudah langsung diajak ke
kamar tidurnya, di sini mau tak mau perasaannya agak kurang tenang juga
karena baru pertama inilah dia berterang-terangan melakukan kegiatan di
rumahnya sendiri, tapi perasaan ini mulai terlupa ketika sebentar
kemudian Oom Rony mulai sibuk merangsang mengecapi sekujur tubuhnya.
Terus terang, kalau bukan karena uangnya sebenarnya bagi Wasti dari
penampilannya laki-laki gemuk pendek lagi botak ini sama sekali tidak
menarik ataupun menerbitkan seleranya. Tapi untungnya selain uangnya
cukup royal, juga cara bermain seksnya bisa juga memuaskan Wasti
sehingga Wasti cukup senang melayaninya. Cara merangsang mulutnya yang
rakus diikuti menjilat-jilat rata sekujur tubuhnya mula-mula memang
kurang “sreg” bagi Wasti kalau masih memulai pembukaan dari bagian atas.
Agak jijik rasanya dengan ludah Oom Rony yang melengket di seputar
wajahnya. Tapi kalau sudah menurun ke bawah baru terasa ada keasyikan
yang membawa dia naik dalam birahinya. Cuma perlu sering diingatkan
karena laki-laki ini suka kelewat gemas. “Aahss Paakk.. jangan digigit
keras-keras.. sakitt..” merintih Wasti tapi dengan muka geli senang,
menahan kepala Oom Rony kalau terasa puting susunya tergigit agak sakit.
Oom
Rony sadar lagi, buru-buru menekan emosinya untuk mencoba lebih halus,
tapi biasanya tidak lama karena sebentar kemudian sudah terlupa lagi dia
untuk kembali menggigiti gemas sekujur tubuh Wasti. Wasti sering
kewalahan, biarpun sudah merengek-rengek dia dengan menggeliat-geliat
meronta-ronta menolaki kepala botak Oom Rony dengan maksud ingin
menghindari tapi Oom Rony malah tambah bernafsu kepada perempuan yang
gayanya makin genit merangsang ini. Tambah bertubi-tubi dia menyerbu
Wasti. Mau tak mau Wasti mengalah, sudah hafal dia kalau belum puas
membuat mengenyoti gemas di bagian susunya, belum berpindah Oom Rony
dari situ. Tapi kalau sudah bergeser ke bawah, caranya pun serupa juga.
Tidak hanya di atas, yang di bawah inipun dia sama rakusnya. Malah lebih
lagi. Sebab tidak perduli kemaluan Wasti entah berapa orang yang sudah
memakai, dia tetap bernafsu sekali menghisap dan menjilat-jilat sambil
menyosorkan mukanya tersembunyi di selangkangan Wasti.
Wasti
sendiri memang senang dirangsang begini, cuma lagi-lagi kalau terasa
geli menyengat membuat dia refleks menolaki kepala Oom Rony, akibatnya
sama, gigitan-gigitan gemas langsung mendarat di bagian seputar bukit
kemaluannya. Malah lebih bertubi-tubi karena Oom Rony lebih bernafsu
dengan bukit kemaluan Wasti yang baginya begitu menggiurkan sekali
karena Wasti sering mencukuri bulu-bulu kemaluannya agar lebih
merangsang langganannya. Jadi kalau bisa digabungkan suara-suara yang
sedang terjadi, maka di bangunan sebelah suara riuh pegawai-pegawai
percetakan yang sedang sibuk bekerja sambil bercanda akan berpadu
rengekan manja sang majikan perempuan dalam kamar yang sedang merasa
keenakkan bercanda dengan kemaluannya dikerjai mulut Oom Rony. “He..
hehngg.. aahss diapain gittu.. gellii iihh..” merengek-rengek kegelian
dia kalau terasa ujung lidah Oom Rony berputaran menjilati klitoris
sesekali menyodok-nyodok pendek di pintu lubang kemaluannya, atau juga
kalau gigitan-gigitan kecil Oom Rony di bibir dalam kemaluannya terasa
seperti ditarik-tarik ke atas. Kepala botak Oom Rony yang menempel di
selangkangannya dipermainkan seperti bola, kadang didekap diusap-usap
kalau merasa keenakkan atau kadang ditolaki kalau geli terlalu
menyengat.
Tapi Wasti tidak hanya bisa menerima, dia juga pintar
memberi “asyik” pada lawan mainnya karena inilah salah satu yang membuat
dia juga jadi perempuan kesayangan langganannya itu. Sebentar kemudian
bertukar permainan dengan Wasti sekarang yang ganti menghisap batang
kemaluan Oom Rony. Dengan pengalamannya yang banyak Wasti tahu persis
bagaimana menyenangkan lelaki lewat permainan mulutnya. Teliti dan cukup
lama dia menjilati sepanjang batang, menghisap-hisap kepala bulatnya,
melocoknya sekaligus dan mengenyot-ngenyot kantung zakarnya membuat
batang kemaluan Oom Rony yang tadi setengah mengeras sekarang bangun
mengencang. Merasa sudah cukup barulah keduanya tiba di babak senggama.
Kembali Wasti mulai merasakan asyiknya bagian lubang kemaluannya
dikerjai, kali ini disogok-sogok batang kemaluan Oom Rony. Ini yang
dibilang meskipun tampangnya tidak “sreg” tapi Oom Rony cukup
menyenangkan Wasti. Memang tidak besar tapi batang kemaluan lawannya ini
cukup bisa bertahan lama kerasnya untuk Wasti terikut sampai di
kepuasannya. Itu juga sebabnya meskipun di babak awal pembukaan
rangsangan Oom Rony kurang disukai Wasti tapi kalau sudah sampai di
bagian ini Wasti cukup senang bersetubuh dengan langganannya yang royal
memberi uang itu. Terbukti mimik mukanya berseri cerah memainkan
kocokkan lubang kemaluannya mengimbangi tarik tusuk batang kemaluan Oom
Rony menggesek ke luar masuk lubangnya.
Seirama dengan bunyi
“mencicit” putaran roda mesin cetak yang seolah kurang pelumasan di
bangunan sebelah, di kamar ini papan tempat tidur pun bergerit oleh
gerak putaran kemaluan Wasti mengocok batang kemaluan Oom Rony. Keduanya
justru kebanyakan dilumas karena semakin lincir saja beradunya kedua
kemaluan terasa dengan semakin cepatnya goyangan keduanya tanda sudah
akan mencapai akhir permainan.
“Hshh.. ayyo Was.. Bapakk keluarr..” di ujungnya Oom Rony segera memberi tanda tiba di ejakulasinya.
“Ayyo Pakk.. sama-sama.. hhoghh.. dduhh..” Wasti cepat menyahut, dia pun segera menyusuli dengan orgasmenya.
Berpadu kejang tubuh mereka ketika masing-masing mencapai puncak
permainan secara bersamaan. Oom Rony merasa puas dengan pelayanan Wasti,
begitu juga Wasti terikut merasa puas dalam permainan seks bersama
langganan tetapnya ini.
Akan tetapi bukan hanya Oom Rony saja yang
bisa bercinta dengan Wasti di rumahnya itu tapi aku sendiri pernah
mengambil bagian seperti itu dengannya. Sudah dua kali aku bertandang ke
rumahnya sekedar untuk ngobrol-ngobrol, tapi pada kali ketiga aku
datang bertepatan Ardi sedang keluar rumah, saat itulah kesempatan baik
ini ingin dimanfaatkan Wasti. Ceritanya waktu aku menumpang buang air
kecil, Wasti menunjukkan kamar mandi yang berada di kamar tidurnya tapi
rupanya dia menunggu dengan tidak sabaran lagi. Karena baru saja ke luar
kamar mandi aku langsung ditubruk pelukan rindunya.
“Duh Mas Dony.. Was kangen banget deh, Mas nggak kangen ya sama aku,” katanya membuka serangan dengan menciumi seputar wajahku.
“Sama aja Was, tapi kan nggak enak masa dateng-dateng lalu minta gitu sama kamu. Lama nggak perginya Mas Ardi?”
“Dia lagi ngurus ke kantor pajak, pasti lama pulangnya kok..”
Sebentar
pembicaraan terputus sampai di sini karena kami memuasi diri dulu
dengan saling melepas rindu lewat ciuman bibir yang saling melumat
hangat dengan posisi masih berdiri berdekapan di ruang tengah itu. Di
situ rupanya kami sudah tidak sabaran menunggu karena sambil mulut tetap
sibuk kuikuti dengan tanganku langsung bekerja melepas penutup
badannya, ini dituruti Wasti bahkan sampai lolos hingga bertelanjang
bulat di pelukanku. Begitu terpandang tubuh mulusnya darah pun langsung
panas menggegelegak. Hmm.. kuakui lekuk liku tubuhnya yang indah dan
tetap tidak berubah sejak dulu nampak begitu menggiurkan dan memompa
darah birahiku menaikkan rangsanganku. Masih ingin kunikmati pemandangan
indah ini tapi Wasti yang sudah bertelanjang bulat di depanku seperti
kuatir aku batal berubah pikiran, dia segera menarik aku lagi dalam
pelukan untuk melanjutkan berciuman sambil dia juga membalas membantu
membukai bajuku. Kali ini jelas lebih asyik, bergelut lidah bertempelan
hangat kedua dada telanjang cepat saja membawa nafsu birahi naik
menuntut, sehingga tidak bermesra-mesraan lebih lama lagi kami pun
bersiap masuk di babak utama.
“Ayo Mass.. buka juga ininya..”
berdesis suaranya sambil tangannya ingin merosot celanaku, tampak dia
seperti ingin terburu-buru. Kuturuti permintaannya sebentar kemudian
kami sudah sama telanjang masih melanjutkan berciuman merangsang nafsu
yang tentu saja naik dengan cepat.Sekarang baru nyata kerinduan Wasti
karena sambil masih sibuk bergelut lidah bertukar ludah, sebelah
tangannya yang terjulur ke bawah sudah langsung beraksi meremas-remas
gemas jendulan batanganku. Diserang begini ganti aku juga membalas.
Kedua tanganku yang semula merangkul pinggangnya kuturunkan meremasi
kedua pantatnya dan memainkan jariku menggaruki bibir luar kemaluannya,
mengukiri celah hangatnya membuat Wasti mulai menggelinjang
terangkat-angkat pantatnya menempelkan jendulan kemaluannya ke jendulan
batanganku. Lama-lama tidak tahan, Wastipun tidak membuang-buang waktu
untuk merendahkan tubuhnya dan langsung mencaplok kepala batangku,
dilocoknya beberapa lama dengan mulutnya sekaligus membasahi dengan
ludahnya. Setelah terasa basah licin barulah dia menegakkan lagi
tubuhnya dan menunggu aku berlanjut untuk berusaha memasukkan di lubang
kemaluannya.
Kuteruskan sesaat ciumanku dengan kembali mengiliki
klitorisnya, sementara Wasti menyambut dengan juga melocok menarik-narik
batang kemaluanku. Saling merangsang begini tentu saja membuat tuntutan
birahi jadi naik tinggi. Merasa cukup, kutunda ciuman sebentar untuk
membawa dia bersandar ke dinding di belakangnya, Wasti menurut hanya
memandangi aku agak bingung.”Nggak di tempat tidur aja Mas..?” tanyanya
seperti kurang cocok dengan tempat yang kupilih.”Di sini dulu,
sekali-sekali kita main berdiri kan bisa juga?” begitu jawabku
menentukan keputusanku. Meskipun agak kurang “sreg” tapi dia juga sudah
kepingin berat jadinya menurut saja ketika setelah kusandarkan ke
dinding, kulanjutkan dulu dengan mengecupi mesra seputar wajahnya sambil
tetap menghangatkan bara nafsu dengan bermain sebentar mengusapi
kemaluannya, menggaruki klitorisnya.
Dia kuserbu dengan membuat
tidak sempat protes lebih jauh karena segera ujung jariku merasakan
licin basah liang kemaluannya. Batang kemaluan yang sudah dibubuhi ludah
kudekatkan masuk terjepit di selangkangannya menenempel ketat di lubang
kemaluannya. Begitu kena mimik mukanya langsung tegang rahang setengah
menganga karena jika dua kemaluan yang sama telanjang sudah ditempel
begini, hangatnya mau tidak mau menuntut untuk melibat lebih dalam.
Sinar matanya makin sayu meminta dan ini kupenuhi dengan mulai berusaha
memasukkan batang kemaluanku. Kedua lutut kutekuk agak merendah dari
situ kutekan membor ke depan ujung batangku sampai terasa menyesap masuk
di jepitan lubang kemaluan Wasti, ini karena dia juga menyambut dengan
menjinjit dan membuka lebar-lebar pahanya.
“Ahngg Mass Doonyy..”
keluar erang senangnya sambil menyebut namaku. Seperti biasa dia selalu
terlihat repot jika dimasukkan batangku, tegang serius mukanya sambil
sesekali melirik ke arah pintu seperti masih kuatir kalau ada yang masuk
mendadak sementara dia sedang sibuk dalam usahanya ini. Begitupun
pelan-pelan tenggelam juga batangku ditelan lubang kemaluannya masuk dan
sebentar kemudian terendam habis seluruh panjangnya. Aku berhenti
sebentar untuk dia menyesuaikan ukuranku baru setelah itu aku pun mulai
menikmati jepitan asyik kemaluannya di batangku. Lepas dari sini kami
berdua sudah langsung meningkat meresap nikmat sanggama tanpa perduli
suasana sekitar lagi. Aku mengawali dengan memainkan batangku menusuk
tarik ke luar masuk, sebentar kemudian diimbangi Wasti dengan memainkan
pinggul mengocokkan lubang kemaluannya. Masing-masing sama
berkonsentrasi pada rasa permainan cinta dengan di atas kembali saling
melumat bergelut lidah, kali ini untuk melengkapi gelut dua kemaluan
yang mengasyikan dalam posisi sanggama berdiri ini. Sambil begitu kedua
tanganku pun meremasi sekaligus kedua susunya menambah enaknya
permainan.
Wasti baru sekali kuajak main gaya begini tapi sudah
langsung tenggelam dalam kelebihan rasanya. Terbukti baru disogok-sogok
beberapa saat saja dia sudah tegang serius mukanya, tapi sebelum sampai
ke puncaknya segera kuangkat dia berpindah posisi ke tempat yang lebih
santai buat dia dan baru sekarang kubaringkan tubuhnya di atas tempat
tidurnya. “Wiihhss.. Mas Donny kangen aku kontolmu Mass.. sshh mantepp
rasanya..” komentar pertama dengan nada suara bergetar terdengar senang
seperti anak kecil baru diberi mainan. Saking rindu dan senangnya sampai
mengalir keluar airmata bahagianya.
Tidak kusahut kata-katanya
tapi dengan gemas-gemas sayang aku menindih untuk mengecup menggigit
bibirnya dan dari situ kusambung dengan mulai memainkan batangku keluar
masuk memompa di jepitan lubang kemaluannya. Inipun masih pelan saja
tapi reaksinya sudah terasa banyak buat kami. Pinggulnya dimainkan
membuat lubang kemaluannya berputaran memijati batanganku, hanya tempo
singkat kami sudah meningkat dalam serius tegang dilanda nikmatnya gelut
kedua kemaluan. Airmuka kami sama tegang dan sinar mata sama sayu
masing-masing hanyut meresapi jumpa mesra yang baru ini lagi kami
lakukan setelah lewat cukup lama perpisahan keintiman kami. Menatap
wajah si manis sedang hanyut begini tentu saja menambah rangsangan
tersendiri yang membuatku makin meningkatkan tempo, sambil tetap
meresapi asik yang sama pada gelut dua kemaluan kami.
“Enak nggak Was rasanya punyak Mas..” bisikku menguji di tengah kesibukanku, sekedar ingin tahu komentarnya.
“Hsh iya ennak sekalli Mass.. kontol Mas Donny palingg ennak dari
semuanya.. hhssh wihh ker-ras sekalli.. ennaakk.. Adduuh Maas iya
ditekenn gittu dalem bbanget hhshh.. Mass Donyy ennaak sekalii Maas..”
Wasti
kuhapal memang type spontan terbuka, dipancing sedikit saja langsung
keluar suaranya mengutarakan apa yang sedang dirasakannya. Jelas
menyenangkan mendapat partner bercinta seperti ini, segera
kutenggelamkan juga perasaanku menyatu dalam asyik sanggama sepenuh
perasaan dengannya. Makin lama gelut kami makin berlomba hangat tanda
bahwa masing-masing mulai menuju ke puncak permainan, sampai tiba di
batas akhir kuiringi saat orgasme kami dengan menempel ketat bibirnya
saling menyumbat dengan lumatan hangat. “Hhrrh hghh.. nghhorrh..
sshghh.. hoorrhgh hhng.. hngnhffgh.. ngmmgh..” suara tenggorokan kami
saling menggeros bertimpal seru mengiringi saat ternikmat dalam sanggama
ini. Mengejut-ngejut batang kemaluanku menyemburkan cairan maniku yang
juga terasa seperti diperas-peras oleh pijatan dinding kemaluannya.
Sampai terbalik kedua bola mata kami saking enak dirasa tapi begitupun
sumbatan mulutku belum kulepas menunggu sentakan-sentakan ekstasinya
melemah. Baru ketika helaan nafas leganya ditarik tanda kenikmatan
berlalu, aku pun melepas tempelan bibirku menyambung dengan
kecupan-kecupan lembut seputar wajahnya.
“Hhahhmmhh Mas Ddony..
assyiknyaa.. keturutan kangenku sama Mas..” kembali terdengar
komentarnya dengan masih saling berpelukan mesra.
“Mas sendiri juga kangen sekali sama kamu Was,” kataku jujur membalas perasaan hatinya.
“Bener?” tanyanya menguji dengan nada manja.
Tapi tetap menjepitkan otot-otot lubang kemaluannya di batanganku
menunggu sampai terlihat aku mulai mengendor menghela nafas legaku, di
situ baru dia berhenti dan membiarkan aku melepaskan batanganku dari
lubang kemaluannya. Aku lega dan puas tapi air mukanya juga tampak
berseri tanda senang telah berhasil memuaskan kerinduannya denganku.
Sejak
dari hari itu berlanjut lagi hubungan lamaku dengan Wasti di setiap
kedatanganku ke rumahnya tapi dengan alasan yang sama seperti Oom Rony
yaitu pura-pura minta dipijat oleh Wasti. Hari itu aku datang ke
rumahnya bertemu dengan Ardi yang sedang sibuk mencetak di bangunan
sebelah, dia mempersilakan aku menemui Wasti di rumah induk. Aku pun
mengiyakan dan waktu masuk ke rumah kudapati Wasti di dapur sedang
mencuci piring-piring dan gelas bekas makan siang mereka. Wasti menoleh
dan tersenyum manis menyambut kehadiranku serta meminta aku menunggu
dulu di ruang tamu. Timbul niat isengku menggoda, kurapati dia yang saat
itu masih berdiri di depan meja cucian piring, langsung memeluk dari
belakang mencumbui dia. Mengecupi lehernya sambil kedua tanganku
meremasi bukit susunya. Karuan Wasti menggeliat-geliat dengan muka
malu-malu geli, ingin menghindar tapi mana mau kulepas begitu saja.
Akhirnya dia diam saja membiarkan aku menggerayangi tubuhnya, dia
sendiri tetap meneruskan mencucinya karena dipikirnya mana mungkin aku
berani mengajak dia untuk waktu yang senekat ini.
“Mas Dony ini nggodain aku aja, paling-paling Mas juga udah ngiseng sama yang lain, sekarang kayak sudah kepengen lagi..?”
“Lha memang kepengen kok, sama kamu kan belum?” jawabku sambil mengangkat rok belakangnya, langsung melorotkan celana dalamnya.
Tentu saja Wasti jadi kaget karena tidak mengira bahwa aku betul-betul serius meminta.
“Heh Mas Dony! Ngawur ah, ini kan masih di dapur.. nanti aja di kamar Mas.. kalau di sini nanti ada yang liat gimana?”
Wasti masih coba memperingatkan aku agar mengurungkan kenekatanku tapi
aku sudah tidak bisa menahan lagi. Malah sudah kulepas ritsleting
celanaku membebaskan kemaluanku langsung menempelkan batanganku di
selangkangannya.
“Kasih sebentar aja kan bisa Was, dari sini kan
kita bisa ngeliat ke sebelah kalau ada yang dateng..” kataku meminta
sambil menenangkan dirinya.
Kebetulan di dekat meja cucian piring itu ada jendela kaca darimana kami bisa melihat keadaan bangunan percetakan di sebelah.
“Ahhs Maass..!” Wasti kontan menjengkit ketika terasa batang
telanjangku yang menempel di lubang kemaluannya itu sudah mulai naik
mengencang.
Sempat bingung dia tapi dari semula ingin berkeras
menghindar akhirnya Wasti jadi tidak tega juga, langsung melunak
suaranya berbisik.
“Wih, wih Mass.. kok cepet banget sih keras bangunnya..?”
“Makanya itu.. Mas Dony masukin ya?”
“Iya tapi aku belum basah Mas..”
“Nanti Mas basahin sebentar..”
“Tapi jangan lama-lama ya, nanti keburu ada yang dateng malah tambah penasaran..”
Tanpa
membuang-buang waktu aku berjongkok di belakang Wasti dan segera
menyosor di lubang kemaluannya yang juga cepat memasang posisi agar
lebih mudah, dengan membuka secukupnya kedua pahanya serta menunggingkan
sedikit pantatnya. Sambil begitu Wasti sendiri terpaksa menunda dulu
pekerjaannya dan menunggu dengan bertopang kedua tangan di tepi meja
cucian sambil pandangannya terus melekat memperhatikan ke luar jendela
kaca itu. Niatnya memang semula hanya ingin sekedar memberi buat aku,
tapi ketika terasa sedotan dan jilatanku di lubang kemaluannya ditambah
lagi dengan satu jariku yang kucucukan menggeseki kecil di lubang itu,
yang begini cepat saja membuat gairahnya terangsang naik. Cepat-cepat
dia membilas kedua tangannya yang masih penuh sabun karena sesewaktu
mungkin diperlukan untuk memegangi tubuhku.
Betul juga, tepat
saatnya dia selesai membilas bersamaan aku juga selesai mengerjai liang
kemaluannya. Segera kubawa batanganku ke depan lubang kemaluannya dan
mulai menyesapkan masuk dari arah belakang, langsung saja sebelah tangan
yang masih basah itu dipakai untuk memegang pinggulku, sebagai cara
untuk mengerem kalau sodokkanku dirasa terlalu kuat. Tapi rupanya tidak.
Biarpun sudah dilanda gairah kejantananku, tapi aku masih bisa meredam
emosi tidak kasar bernafsu. Selalu hati-hati sewaktu membor batangku
masuk meskipun seperti biasa Wasti selalu menunggu dengan muka tegang.
Dia baru melega kalau batangku dirasanya sudah terendam habis di lubang
kemaluannya.
“Keras sekali rasanya Mas..?” komentar pertamanya sambil menoleh tersenyum kepadaku di belakangnya.
Kugamit pipinya dan menempelkan bibirku mengajaknya berciuman.
“Kalau ketemu lubangmu memang jadi cepet kerasnya..” jawabku berbisik sebelum menekan dengan ciuman yang dalam.
Kami mulai saling melumat sambil diiringi gerak tubuh bagian bawah
untuk meresap nikmat gelut kedua kemaluan dengan aku menarik tusuk
batang kemaluan, sedang Wasti memutar-mutar pantatnya mengocoki
batanganku di liang kemaluannya. Inipun niat semula masih sekedar
memberi bagiku saja, tapi tidak bisa dicegah, dia pun dilanda nikmat
sanggama yang sama, yang membawanya terseret menuju puncak permainan
bersamaku.
Dari semula gerak senggama kedua kami masih berputaran
pelan, semakin lama semakin meningkat hangat, karena masing-masing sudah
menumpukkan rasa enak terpusat di kedua kemaluan yang saling bergesek,
sudah bersiap-siap akan melepaskannya sesaat lagi. Wasti tidak lagi
bertopang di tepi meja tapi menahan tubuhnya dengan lurus kedua
tangannya pada dinding depannya. Di situ tubuhnya meliuk-liuk dengan air
muka tegang seperti kesakitan tertolak-tolak oleh sogokan-sogokan
batanganku yang keluar masuk cepat dari arah belakangnya, tapi
sebenarnya justru sedang tegang serius keenakkan sambil membalas dengan
putaran-putaran liang kemaluannya yang menungging. Masing-masing sudah
menjelang tiba di batas akhirnya, hanya tinggal menunggu kata sepakat
saja.
“Aahs yyohh Wass.. Mass sudah mau samppe..”
“Iya Mass.. sama-samaa.. sshhah-hhgh.. dduhh.. oohgsshh.. hrrh hheehh Wass ayyoo.. dduuh Maass.. aaddussh hrhh..”
Pembukaan orgasme ini masing-masing saling mengajak dan berikutnya
saling bertimpa mengerang mengaduh dan tersentak-sentak ketika secara
bersamaan mencapai batas kenikmatan. Jika dihitung secara waktu maka
permainan kali ini relatif cepat namun bisa juga membawa Wasti pada
kepuasannya. Memang hampir saja terlambat, karena baru saja aku mencabut
batang kemaluanku sudah terdengar langkah kaki seseorang akan masuk ke
rumah induk. Ternyata memang Ardi yang datang. Wasti sendiri tidak
sempat lagi mencuci lubang kemaluannya, buru-buru dia menaikkan celana
dalamnya untuk menyumbat cairan mani bekasku yang terasa akan meleleh ke
pahanya dan selepas itu dia pura-pura kembali meneruskan mencuci piring
yang sempat tertunda itu.