TAMAN
RIA Remaja Senayan. Air membentang seluas mata memandang.
Perahu-perahu hilir mudik dengan berbagai bentuk. Kebanyakan berkepala
bebek. Penumpang-penumpangnya bermacam-macam. Ada keluarga.
Terdiri Bapak, Ibu dan anak-anaknya. Atau pasangan-pasangan yang
sedang berpacaran.
Wajah-wajah mereka menunjukkan kegembiraan.
Ada yang senyum, tertawa cerah. Atau bercanda ria.
Memang
demikianlah halnya kebanyakan pengunjung-pengunjung Taman Ria ini.
Kebanyakan menampakkan wajah gembira. Ceria. Namun di antaranya, ada
seorang yang tidak menampakkan wajah gembira. Benny ! Dia duduk di
atas rerumputan pebukitan yang memanjang. Matanya memandang ke
depan. Sebentar meredup, sebentar membola. Seperti ada golakan di
dalam hatinya. Seperti gelombang yang menderu-deru. Tiap
sebentar menghela napas panjang!
Langit cerah. Awan-awan putih
bergumpal-gumpal di sela-sela langit biru. Benny merebahkan
tubuhnya di atas rerumputan. Kedua lengannya disilangkan di bawah
kepala. Lama dia memandang langit. Tetapi langit bagai tak
tampak. Yang terlihat olehnya, bayangan kabut. Bergumpal-gumpal. Di
antara kabut itu, bagaikan menyembul seraut wajah. Perempuan.
Cantik. Dan tik. Dan Benny menarik napas panjang lagi. Seraut
wajah itu tersenyum. Manisnya. Lebih manis dari pada gula atau
segala yang paling manis di dunia ini. Benny memejamkan matanya.
O, kesalnya dia. Tak ingin sebenarnya dia menyaksikan seraut
wajah itu. Tetapi wajah itu seperti mengejarnya. Wajah Lisa.
Wajah seseorang yang dicintainya.
Benny membuka matanya lagi.
Secara jujur, Benny, pemuda yang berusia sekitar dua puluh empat
tahun itu, harus mengakui, bahwa dia sangat mencintai Lisa. Belum
pernah sebelumnya, Benny mencintai seseorang, seperti besarnya
kecintaannya kepada Lisa, Tetapi sekarang! Cinta yang besar itu
telah berobah menjadi kebencian. Kebencian amat sangat. Benny
merentak. Setengah menyentak, dia bangun dari sikap berharingnya.
Berpaling ke kiri dan meludah. Dan . . . tiba-tiba mata Benny bentrok
dengan mata seseorang. Seorang perempuan.
Benny terperangah.
Sejak kapan perempuan itu duduk di situ. Benny tidak melihatnya
pada beberapa menit yang lalu. Perempuan itu, berwajah tirus
dengan sepasang mata bola yang indah, dengan rambut dibiarkan tergerai
pada bahunya, masih saja memandang Benny. Umurnya sekitar tiga
puluh tahun. Sendirian ! Benny menelan ludah! Uf! Mata yang
indah. Duduk dengan sikap agak sembarangan, sehingga ujung roknya
tersingkap. Dan menyembullah pahanya yang memutih penuh !
Benny
segera menarik pandangnya dan melemparkannya ke arah lain. Uf!
Persetan dengan perempuan. Walau bagaimanapun cantiknya. Tentu dia tidak
berapa jauh dengan Lisa! Benny memandang langit. Tetapi . . .
mata perempuan itu sangat indah . . . Lebih indah dari pada mata
Lisa. Secara naluriah. Benny berpaling lagi ke kiri. Dan
lagi-lagi matanya bentrok. Uf! Perempuan itu membalas senyum
Benny. lni benar-benar di luar dugaan. Dan Benny berpikir,
perempuan itu cuma sendirian. Hmm! Benny mengangguk. Dan hati
Benny jadi mengembang, bila perempuan itupun itu pun membalas
mengangguk.
“Aku tidak boleh ge-er!” ujar Benny dalam hati. “Aku
tidak boleh mengharapkan terlalu banyak. Cukuplah bila bisa
ngobrol-ngobrol. Dia sendiri. Dan akupun sendiri. Lumayan menjadi
teman ngobrol!”
Berpkir demikian, Benny menunjuk dirinya,
kemudian menunjuk perempuan itu. Maksudnya, Benny menanyakan.
bagaimana kalau Benny menemani perempuan itu duduk. menikmati
alam indah Taman Ria. Perempuan itu tertawa kecil sambil
mengangguk. Dan Benny tentu saja tidak ingin membuang-buang waktu.
Segera dia berdiri dan menghampiri perempuan itu.
“Tidak mengganggu?!” tanya Benny sambil duduk di sisi perempuan itu.
“Senang sekali dikawani!” jawab perempuan itu.
“Sendirian?” tanya Benny.
“Seperti
yang kamu lihat!” kata perempuan itu sambil mengerling. Kemudian
melanjutkan: “Sebenarnya saya menunggu seseorang.”
“Pacar?!”
“Belum
bisa dikatakan begitu. Hanya kawan biasa. Dan kamu?!” tanya
perempuan itu, yang tahu betul bahwa Benny jauh di bawah umurnya.
“Saya memang datang sendirian,” ujar Benny.
“Nggak sama pacar?!” tanya perempuan itu sambil terscnyum.
“Saya . . . eh, belum punya pacar.”
“Bohong!” kata perempuan itu spontan.
“Kenapa Mbak menuduh saya bohong?!” Benny mengernyitkan keningnya.
“Umur kamu berapa?!”
“Dust puluh empat!”
“Dua puluh empat tahun, belum punya pacar. Siapa yang mau percaya!”
“Tetapi
saya betul-betul belum punya pacar!” jawab Benny. Padahal dalam
hati, Benny sangat menyesali ucapan mulutnya. “Aku bohong, Mbak. Aku
sebenarnya punya pacar. Tetapi aku sebel sama dia!”
“Nama kamu siapa?!”
“Benny. Dan nama Mbak?!”
“Aningsih.”
“Ya. Kenapa?!”
“Nggak apa-apa! Nama yang manis!”
Perempuan itu tertawa kecil sambil memukul bahu Benny. “Uf kamu ini! Baru ketemu, sudah merayu!”
“Saya nggak merayu, Mbak. Nama Mbak memang manis, seperti orangnya. Cantik. Llncah. Dan ketawa Mbak itu, lho!”
“Memangnya kenapa dengan ketawaku?!”
“Manisnya nggak ketulungan!”
Perempuan itu ketawa lagi. ketawa lagi !
“Makin manis saja,” kata Benny.
Perempuan itu, yang menyebutkan namanya Aningsih, memukul bahu Benny. Ganti Benny yang ketawa-ketawa senang.
“Kamu seharusnya sudah punya pacar.”
“Nggak ada perempuan yang mau sama saya.”
“Bohong! Kamu ganteng! Pasti banyak perempuan yang mau sama kamu!”
“Sungguh
kok, Mbak,” kali ini Benny bicara lebih serius. Dicabutnya
sebatang rumput yang tumbuh di hadapannya. Digigitinya ujungnya sampai
hancur. Kemudian dilemparkannya. Lalu berkata dengan suara lebih
perlahan: “Tak ada perempuan yang mau sama saya!”
“Mengapa kamu beranggapan demikian?!”
“Kenyataannya memang begitu.”
“Jangan-jangan
kamu sendiri yang jual mahal. Sebenarnya banyak perempuan yang
mau sama kamu. Tetapi kamu sombong. Tidak memandang sebelah mata pada
mereka!”
“Tidak begitu, kok!” jawab Benny. “Saya biasa-biasa saja!”
“Kalau kamu biasa-biasa saja pasti sudah punya pacar!”
Benny
mencabut lagi sebatang rumput, menggigitnya, kemudian membuangnya
lagi jauh-jauh. “Saya memang pernah punya pacar. Kan saya sangat
mencintainya. Tetapi . . . ” terputus ucapan Benny.
“Tetapi
mengapa . . . ?!” bertanya Mbak Ning antusias. Rupanya dia ingin
tahu. Benny mencabut lagi sebatang rumput. Seperti tadi, digigitnya,
kemudian dilemparkannya jauh-jauh.
“Putus, Mbak.”
“Mengapa putus?!”
Benny
diam. Memandang ke arah danau. Mbak Ning juga memandang ke arah
danau, lalu kembali pada Benny. “Mengapa putus?!” Mbak Ning mengulangi
pertanyaannya.
“Barangkal sudah begitu nasib saya!”
“Pasti kamu yang memutuskan. Kamu sudah bosan sama dia. Kamu kepingin ganti pacar lain. Maka kamu mencari gara-gara!”
“Saya tidak serendah itu.”
“Lalu mengapa bisa putus?!”
“Dia yang memutuskan.”
“Dia pacaran dengan lelaki lain?!”
“Ya!”
Aningsih
menghela napas. “Kalau begitu, kamu patah hati sekarang. Tidak
apa. Kisah cinta tidak selalu berjalan mulus Kamu laki-laki. Tidak boleh
cengeng. Masih banyak yang bisa kamu harapkan dalam hidup ini.
Perempuan tidak cuma satu di dunia ini!”
“Barangkali memang begitu. Tetapi saya sulit sekali melupakannya.”
“Kamu sangat mencintainya?!”
“Ya!”
“Kamu harus berusaha melupakannya. Itupun kalau kamu benar. Jangan-jangan kamu cuma bohong!”
“Sungguh
kok, Mbak Ning. Saya tidak bohong. Kalau Mbak tidak percaya, Mbak
boleh melihat fotonya,” sambil berkata demikian Benny mengambil
dompetnya dan mengeluarkan sehelai foto berukuran separoh kartu
pos. Diserahkannya pada Mbak Ning. Perempuan itu mengamat-amati
foto itu. Foto seorang gadis separuh badan. Cantik. Berusia
sekitar dua puluh satu tahun.
Mbak Ning menyerahkan kembali foto itu.
“Cantik
memang. Pantas kamu sangat mencintainya. Tetapi Mbak lihat, gadis
ini type setia. Rasanya hampir tidak mungkin kalau dia mengkhianati
cinta kalian!”
Benny menyimpan kembali sehelai foto itu ke
dalam dompetnya, kemudian dimasukkan ke saku belakang celananya.
“Mengapa Mbak tidak percaya, padahal saya sudah menceritakan yang
sebenarnya.”
“Kalau memang begitu, yah . . . apa boleh buat. Kamu harus tabah,” suara Aningsih seperti yang sedang memberi petuah.
“Ya, memang. Saya harus tabah,” ujar Benny.
Angin
melembut, menggerai-geraikan rambut mereka. Perahu-perahu masih saja
hilir mudik di danau buatan. Pucuk-pucuk pinus bergoyang di ke
jauhan. Di bawah mereka, di aspal jalan yang melingkari bukit
kecil panjang itu. Ada sepasang manusia yang berjalan mesra
sekali. Lengan si lelaki melingkari pinggang si wanita. Sedangkan
kepala si wanita menyandar ke bahu si lelaki. Mesranya!
Selangit!
“Kadang saya sering iri jika melihat kemesraan orang
lain,” ujar Benny yang melihat sepasang insan yang saling
mencinta itu.
“Kalau begitu, mengapa kamu datang ke mari sendirian?! Di sini banyak sekali pemandangan yang menyiksamu!”
“Tempat
ini banyak memberikan kesan pada saya, Mbak. Saya dan Lisa datang
ke mari. Kami bermesraan. Saya senang mengembalikan kesan-kesan itu!”
Mbak Ning tertawa. “Kau salah!” katanya. “Yang begitu, malah akan semakin menyiksamu!”
“Yah,
saya memang salah. Memang salah!” ujar Benny seperti mengeluh. Lalu
Benny mencabut lagi sebatang rumput. Digigitinya. Lalu
dilemparkannya kembali. “Dan Mbak sendiri?! Mengapa Mbak ada di
sini?!”
“Sudah kukatakan, bukan?! Aku menunggu seseorang.” kali ini wajah Mbak Ning menampakkan kegelisahan.
Benny menatap lebih tajam. “Kelihatannya Mbak bohong!”
“Kamu tidak percaya?!”
“Ya! Saya tidak pereaya!”
“Apa yang menyebabkan kamu tidak percaya?!”
“Mata Mbak! Mulut Mbak, bisa bohong. Tetapi mata Mbak tidak. Mata Mbak lebih jujur!”
Aningsih menggigit-gigit bibirnya sendiri. “Saya tidak bohong.”
“Lalu, yang menunggu mbak itu, tidak datang?!”
“Sudah hampir satu jam aku menunggu. Rasanya dia memang tidak datang.”
“Barangkali dia ada halangan.”
“Ya!
Barangkali!” Aningsih melihat ke jam tangannya. Sudah jam lima lewat.
Matahari sudah redup di langit. Angin bertambah sejuk semilir.
Lama mereka ngobrol. Melompat dari satu masalah ke masalah lain.
Kebanyakan tidak penting. Suasana petang semakin hilang. Berganti
dengan gelap. Bulan di langit tersenyum. Bulan sabit. Di
pebukitan tidak hanya mereka berdua. Tetapi banyak lagi yang
lain. Mereka adalah pasangan-pasangan yang saling memadu kasih.
Dan sekarang, Aningsih dan Benny tidak lagi berjauhan. Aningsih
meletakkan kepalanya ke bahu Benny. “Kalau saja pacar Mbak
melihat kita, tentu akan cemburu!” ujar Benny.
Akingsih tersenyum.
“Aku belum punya pacar.” katanya. “Lalu?! Lelaki yang janjian
sama Mbak, yang ternyata sekarang tidak datang?!”
Aningsih
menggeser-geser rambutnya ke leher Benny, “Lelaki itu belum lama
kukenal. Baru dua kali bertemu. Dan sekarang dia tidak datang. Janjinya
tidak bisa kupercaya!” ujar Aningsih.
Benny merasakan geli
yang nyaman ketika Aningsih menggeser-geserkan rambutnya ke
lehernya. Geli yang merambati pembuluh-pembuluh darahnya. Angin
malam berkesiur dingin, menusuk tulang. Tetapi tidak demikian halnya
dengan Ning dan Benny. Keduanya sama sekali tidak merasakan dingin.
Hati mereka hangat. Lengan-lengan mereka saling merangkul. erat.
Keduanya merasakan diri melayang. Bayang-bayang pepohonan menimpa
mereka.
“Boleh aku ke rumah Mbak Ning kapan-kapan?!” tanya Benny.
“Mengapa tidak?! Aku senang sekali kalau kau mau datang.” kata Ning.
“Pasti! Pasti aku akan datang!” kata Benny.
Lalu
mereka berkecupan. Hangatnya bibir Benny. Hangatnya bibir Ning. Lalu
tangan-tangan mereka saling bergenggaman. Lalu saling meremas. Lalu
berkecupan lagi. Mesranya. Dan bayang-bayang pohon semakin
menghitam. Angin semakin dingin berkesiur. Mereka tak ubahnya
seperti sepasang kekasih yang sudah lama saling memadu kasih.
Sampai akhirnya, Aningsih seperti tersadar menatap jam tangannya.
“Ah, sudah jam delapan!” katanya. Lalu dilepaskannya
rangkulannya. “Kita pulang, Ben!”
Rasanya cepat sekali waktu
berlalu. Benny dan Aningsih melangkah kecil, menuruni pebukitan
itu. Lengan Benny melingkari pinggang Aningsih yang ramping.
Suatu ketika, hampir Aningsih tergelincir. Lengannya bergelayutan
di leher Benny. Benny cepat meraih pinggang Aningsih erat-erat. Mereka
berpelukan sambil berdiri.
“Kuantarkan Mbak pulang.” ujar Benny
“Tidak. Biar aku pulang sendiri.”
“Kata Mbak, aku boleh ke rumah Mbak Ning.”
“Boleh. Tetapi tidak sekarang.”
“Kalau begitu, Malam Minggu nanti?!”
“Jangan Malam Minggu.”
“Pacar Mbak datang. ya?!”
“Bukan. Malam Minggu nanti aku ada acara keluarga.”
“Acara apa ?! Ulang tahun?!”
“Bukan! Arisan keluarga! Ah, kau banyak tanya.”
“Kalau
begitu, Malam Rabu depan. Seminggu lagi?!” Aningsih mcngernyitkan
keningnya. “Baiklah! Aku tunggu kau!” lalu Aningsih menyetop taksi.
Sejurus kemudian, taksi pun melesat meninggalkan Benny yang masih
saja mematung memandangi taksi itu.
Lalu Benny menstarter motornya.
Sungguh,
dia tak menyangka, malam ini akan bertemu dan berkenalan dengan
Mbak Ning. Dan dia tak menyangka, bahwa perkenalan itu cepat menjadi
rapat. Keduanya tersenyum-senyum kecil. Terbayang kembali, bagaimana
mesranya bihir Mbak Ning menindih bibirnya. Betapa hangatnya.
Betapa lembutnya. Hampir saja Benny menubruk bus tingkat yang
tiba-tiba saja berhenti. Untunglah naluri Benny cukup tajam untuk
menghindari tubrukan itu.
BENNY TIDAK dapat melupakan
Aningsih. Di tempat pekerjaannya, Benny tetap ingat. Ini
menjadikan Benny banyak melamun. Nelly mengageti Benny. Benny
tersentak. Hampir saja berhenti jantungnya. Nelly terkikik-kikik.
“Tampangmu lucu sekali kalau lagi kaget,” kata Nelly sambil menutupi
mulutnya.
“Kalau jantungku putus, apa kamu bisa ganti?!” tanya Benny kheki.
“Bisa! Aku ganti saja sama hati monyet!”
“Enak saja! Apa kau kira aku ini satu keluarga dengan monyet?! kata Benny lagi.
“Aku tahu. Pasti Benny lagi kasmaran,” ujar Oding.
Apa
yang dikatakan Oding memang hampir benar. Benny melamun. Dan Aningsih
yang dilamunkan. Terbayang wajahnya. Terbayang gerak-geriknya.
Terbayang tertawanya. Semua, semua. Dan Benny membandingkan
Aningsih dengan perempuan-perempuan yang pernah dikenalnya.
Dengan Hera, Yani, Dari dari banyak lagi wanita-wanita lain.
Namun Aningsih mempunyai daya tarik sendiri. Rasanya lama sekali
sampai menunggu hari Rabu tiba. Menit demi menit yang berlalu,
rasanya sangat lambat. lngin dipaksakannya matahari bergeser
cepat ke sebelah barat, agar hari cepat berganti!
HARI RABU.
“Mbak
Ning tinggal sendirian di sini?!” tanya Benny pada Aningsih. Mereka
duduk di ruang tengah rumah Aningsih. Pada jam sepuluh pagi,
Akingsih belum mandi. Tetapi di mata Benny, bahkan Aningsih
tampak lebih cantik dan menawan.
“Tidak! Bersama teman,
Mbak. Hilda! Dan seorang pembantu!” jawab Aningsih sambil
meletakkan segelas kopi susu di hadapan Benny.
Benny mengitarkan
pandangannya ke sekeliling ruang tengah. Hm, rapi. Pertanda rumah
ini ditangani oleh orangorang yang apik.
“Mbak Ning kerja?!” tanya Benny lagi.
“Tidak!
Aku cuma dagang permata. Yah, hasilnya lumayan juga,” kata
Aningsih sambil berdiri dari duduknya. “Kau tunggu sebentar. Mbak mandi
dulu. Kalau mau baca-baca majalah, tuh du bupet. Banyak!”
kemudian Aningsih masuk ke kamarnya, mengambil handuk. Kemudian
keluar lagi dan melenggang ke kamar mandi. Mata Benny tak lepas
dari pinggul Aningsih yang bergoyang-goyang.
Aningsih
melepaskan satu-satu yang melekat di tubuhnya. Hmm, air terasa
sejuk ketika mengguyur tubuhnya yang mulus. Lalu tangannya yang lentik
mulai menyabuni. Mulai dari leher, turun ke bahu, turun lagi ke
sepasang pebukitan indah di dadanya. Seluruh apa yang ada pada
dirinya, merupakan panorama sangat indah yang akan mendatangkan
kesan mendalam bagi yang memandangnya. Sambil menyabuni itu,
Aningsih berpikir: “Benny benar-benar datang!” Aningsih
benar-benar tidak menduga, bahwa Benny akan menepati janji.
Pemuda itu sangat menarik. Tubuhnya tegap dan atletis. Tubuh yang
dirindukan oleh perempuan.
“Bennnn !!!” Benny yang sedang duduk membaca majalah di ruangan tengah, mendengar suara Aningsih yang memanggilnya mesra.
Benny
menutupkan majalah dan buru-buru ke kamar mandi. Pintu kamar mandi
setengah terbuka. Aningsih berdiri dengan handuk sebatas dadanya!
Benny terkesiap. Hmm, dengan handuk itu, tubuh Aningsih tercetak
indah. Terutama kulit bahu dan pahanya yang sangat mulus. Kencang
dan sekal. Membuat mata Benny tidak berkedip.
Aningsih
tersenyum sambil menjentik pipi Benny. “Mengapa kau pandangi aku
seperti itu, sih?! Apa ada yang aneh pada diriku?!”
“Ah, tidak. Aku . . . eh, Mbak cantik sekali!” kata Benny gelagapan dan serba salah.
“Wowww! Rayuan gombal!” ujar Ningsih sambil mengerling manis. “Bennn!! Tolong aku, ya . . . ?!”
“Tolong apa, Mbak?!”
“Tolong
ambilkan aku sendal di kamar. Sendal yang warna merah. Brengsek,
deh. Aku lupa pakai sendal ke kamar mandi.” kara Aningsih dengan suara
manja. Suara yang membuat hati Benny panas dingin.
Benny
segera ke kamar Mbak, Ning, mengambil sendal merah. La.lu kembali ke
kamar mandi. “Terima kasih, Ben!” ujar Aningsih sambil mengenakan
sendal yang diambilkan Benny.
Tetapi baru saja mengenakan
sebelah, tiba-tiba kaitan handuk Aningsih terlepas. Dan cepat
sekali handuk itu meluncur ke bawah. Aningsih terkejut. “Oh . . .
!” serunya. Tetapi Aningsih sudah tidak mengenakan apa-apa lagi.
Yang
terlebih gawat adalah Benny. Jantungnya dirasakan bagai akan meledak
. . . Matanya membelalak. Dan Benny tidak nampu menguasai diri
lagi. Ditubruknya Aningsih. “Bennnn! Kau ini, Apa-apaan . . . ?!”
Aningsih meronta-ronta. Namun rontaan-rontaan itu terlalu lemah.
Tidak mungkin mampu melepaskan diri dari pelukan Benny yang
ketat. “Bennn! Jangan, ah! Oukh, kamu ini . . . !!” Aningsih
masih mencoba meronta. Tetapi . . . ah, tidak. Lebih tepat
dikatakan menggeliat. Kepala Aningsih menggeleyong ke kiri dan ke
kanan. Menghindari bibir Benny yang mencari-cari bibirnya. Benny
tak sabar. Didorongnya tubuh Aningsih. Ditekankannya ke dinding
kamar mandi, sehingga Aningsih tidak leluasa lagi bergerak. Dan sekejap
kemudian, mulut Benny berhasil menangkap bibir Aningsih. “Hmmmm!
Mmmmmm !!” Aningsih tidak lagi meronta. Matanya segera meredup.
Menerima pelukan dan kuluman bibir Benny yang hangat. Bahkan
sekarang, Aningsih ikut membalas. Dijulurkannya lidahnya. Saling
mendorong dengan bibir Benny. Matanya semakln redup. Lincah
sekali lidah Aningsih mengait-ngait lidah Benny. Mendapat
sambutan yang hangat, darah muda Benny semakin membuncah. Panas!
Menuntut pelepasan. Apalagi ditambah dengan sepasang payudara ranum
milik Aningsth yang menekan dada Benny yang bidang!
“Bennnnn! ! Hmmphh . . . akh!”
“Mbak !! Ssssh !!”
“Sesak napasku, Bennnnn!!”
“Biarlah sesak!”
“Putus jantungku!”
“Biarlah putus!”
“Kalau aku mati . . . ?!!”
“Aku akan ikut mati!”
Aningsih
tertawa sambil mencubit pipi Benny. “Ih, kok kayak Romeo dan
Yuliet saja. Kalau aku mati, apa kau benarbenar mau ikut mati?!”
“Mau!
Demi Mbak!.’ujar Benny sambil menciumi leher Aningsih dengan lembut
sekali. Aningsih menggeliat-geliat. Lehernya menggeleyong-geleyong
ke sana-ke mari. Sikap seorang perempuan yang penuh rangsangan.
“Benn . . . !!” Aningsih menyebut nama lelaki itu ditengah-tengah rintihannya.
“Ada apa Mbak?!”
“Mengapa
kau bersikap begini padaku?!” dan Aningsih lebih terengah-engah
lagi, bilamana hidung Benny menyapunyapu pankkal buah dadanya yang
montok.
“Saya . . . saya . . . cinta pada Mbak . . . !!” ujar Benny di tengah dengus-dengus napasnya.
Aningsih
tertawa kecil. Telapak tangannya sebentar mengeluas dan sebentar
menekan belakang kepala Benny. “Kamu nggak bohong?!” tanya Aningsih
sambil membusungkan dadanya yang montok dan putih itu, agar Benny
lebih le-luasa melakukan aktifitasnya.
“Saya nggak bohong, Mbak!”
“Kamu bohong . . . !” Aningsih memijit hidung Benny dengan gemas.
“Aww . . . !” Benny menjerit. Pijitan itu mendatangkan sakit. Tetapi juga nikmat.
“Kamu
bohong, Ben! Lelaki memang begitu. Suka bohong. Rayuannya gombal.
Selangit. Tetapi buktinya, nol! Nol kosong! Dan perempuan-perempuan
banyak yang tertipu. Mereka akhirnya cuma bisa menangis dan
menangis!” ujar Aningsih sambil sambil menekankan dadanya yang
sekal, lengkap dengan putihnya yang kemerahan menantang itu
kedada Benny yang bidang. Dan Benny merasakan sesuatu
mengutik-utik di antara kedua pangkal pahanya, di balik celana
panjangnya.
“Tetapi aku tidak begitu, Mbak. Kau tidak boleh
menyamaratakan semua lelaki!” Benny panas dingin menahankan
sesuatu yang bergelora, membuat kelenjar darahnya
berdenyut-denyut.
“Tetapi, Ben! Apa betul kamu sungguh-sungguh
mencintaiku?!” Aningsih melepaskan satu demi satu-satu kancing
hemd Benny. Dan kemudian melepaskan hemd lelaki itu. Hemd itu
meluncur begitu saja, jatuh ke lantai kamar mandi yang basah.
Seperti
yang dibayangkan Akingsih, tubuh Benny sangat mengagumkan. Tubuh
atletis. Bahunya tegap. Kedua lengannya kekar, berurat. Dan dadanya
berbulu lebat. Sirrr . . . ! Berdesri darah Aningsih bilamana
bulu-bulu dada yang keriting lebat itu bergesek ke dadanya.
“Bennn!” bisik Aningsih.
“Ada apa, sayang?!” tanya Benny.
“Bawa aku kamar. Di sini . . . di sini . . . dinginnnnn . . . !!!”
Benny
tak perlu menunggu diperintah sampai dua kali. Segera didukungnya
Aningsih ke luar dari kamar mandi. Mbok Inem, pembantu Aningsih sedang
ke pasar. Benny meletakkan tubuh mulus yang sudah tidak ditutupi
sehelai benangpun ke tempat tidur. Kemudian lelaki muda itu
melepaskan celana panjangnya. Sambil berbaring. Aningsih menatap
tubuh Benny yang aduhai itu. Benny hanya mengenakan celana dalam
kecil saja. Berwarna putih. selangkangan Benny tampak menonjol.
Dan Aningsih menelan ludah. Di balik celana dalam itu, meremang
hutan lebat menghitam. Bergompyok. Terus menyambung sampai ke
pusar Benny. Dan Aningsih sekali lagi menelan ludah.
“Bennnn . . . !!” ujar Aningsih. “Ada apa, sayang?!”
“Bukalah celana dalammu. Bukalah!”
Benny
tersenyum, melepaskan celana dalamnya. Dan . . . wow!! Mata Aningsih
membelalak. Bagaimana tidak?! Sesuatu yang biasanya selalu
tersembunyi itu, kini terpampang bebas. Bazoka Benny! Senjata
yang menggayut setengah tegang itu, panjang dan besar. Hebat
sekali! Seakan-akan menantang bagi yang memandang. Benda luar
biasa itu mengangguk-angguk. Menghitam! Mulai dari bagian
pangkalnya, lebat ditumbuhi rambut kriting: Bukan main! Seumur
hidupnya, Aningsih belum pernah menyaksikan benda sehebat dan seindah
itu.
D U A
BUKAN BARU sekali ini Aningsih menghadapi lelaki.
Tetapi secara jujur, Aningsih harus mengakui, bahwa lelaki
seperti Benny sangat jarang ditemuinya. Lelaki bertemperamen
panas. Jantan! Romantis. Lelaki-lelaki yang dihadapinya,
kebanyakan loyo. Tidak dapat memberikan kepuasan padanya!
Aningsih
membiarkan saja Benny meraba-raba sepasang buah dadanya yang
montok ranum. Lengkap dengan putingnya yang kemerahan tegak menantang ke
atas. Puting itu bergetar-getar, seirama dengan gerakan-gerakan
bukit indah itu. Dan Benny meremasnya dengan lembut. Lembut
sekali. Penuh perasaan.
Aningsih merengek manja. Menggeliat
sambil merintih. Matanya meredup. Oukh, telapak tangan Benny
hangat dan seakan-akan mengandung magnit. Membuat Aningsih jadi
terangsang. Tangan lelaki itu masih juga meremas.
Berpindah-pindah. Puas sebelah kanan. Beganti dengan sebelah kiri.
Bervariasi dengan tekanan-tekanan yang romantis. Mendatangkan rasa
geli-geli dan nikmat. “Oukh, Bennnn! Hmmnrhhh . . . sssh, akh!” ujar
Aningsih sambil membusungkan dada yang sedang diremas Benny,
agar Aningsih lebih dapat meresapkan rasa geli-geli nikmat itu.
Benny
memang pintar menaikkan rangsang perempuan sedikit demi sedikit.
Bukan hanya tangannya saja yang pintar bermain. Tetapi juga hidung dan
mulutnya. Hidungnya menciumi permukaan payudara yang padat dan
montok itu. Tidak terlalu besar dan juga tidak kecil. Bentuknya
sangat indah. Membuat gemas. Cara Benny menciumi sepasang
payudara itupun bervariasi. Sebentar keras dan sebentar lembut.
Dan darah yang mengalir di tubuh Aningsih semakin deras saja!
“Ben !! Kamu sering main perempuan!” tanya Aningsih ditengah-tengah napasnya yang terengah.
“Tidak
sering, Mbak. Baru beberapa kali saja.” ujar Benny sambil membuka
mulutnya dan memasukkan puting buah dada yang merah kecoklatan itu.
“Auww
. . . !!” Aningsih menjerit lirih. Dan perempuan itu
menggelinjang-gelinjang, bilamana puting buah dadanya dikulum oleh
Benny. Dan untuk kesekian kali, Aningsih harus mengakui, bahwa
kuluman bibir Benny sangat berbeda dengan kuluman bibir
lelaki-lelaki lainnya. “Hsssh, akh! Terus, Bennnn! Terussss,
sayangghhh . . . !! Hmmmhhh . . . !!” dua telapak tangan Aningsih
mengerumasi rambut Benny sambil menekankan.
Benny semakin
terangsang. Sungguh nikmat puting buah dada itu. Dikulum oleh
Benny. Dilepaskan. Dikulum. Dilepaskan lagi. Berganti-ganti kanan dan
kiri. Dikulum lagi, dilepaskan lagi. Berulang-ulang dengan tak
bosan-bosannya. Dan puting itu semakin tegang lagi. Benny
melakukannya bervariasi. Sebentar lembut dan sebentar keras. Dan
rasa geli bercampur kenikmatan semakin terasa. “Oukh, Benny!
Teruskan, sayanghhh . . . !! Sssh ennnak, Bennnn!!!” mulut
Aningsih mendecap-decap seperti orang kepedasan.
Tersendat-sendat. Dan buah dada Aningsih semakin keras, pertanda
perempuan itu kian terangsang. Lebih-lebih bilamana Benny
menggeser-geserkan di antara gigigiginya. Nikmat! Dan napas
Aningsih turun naik. “Bennyy!! Keras, dikit! Ya, ya. gitu. Aukh,
Bennnn! Kok enakkkh, sihhhh !” dan Aningsih merintih-rintih.
Benny
semakin bersemangat. Digigit-gigitnya pentil susu yang kenyal itu.
Dihisapnya. Lalu dijilatinya dengan bernafsu. Sebentar
ditinggalkannya, puting itu. Lalu Benny mengecupi buah dada ranum
itu bertubi-tubi. Lalu kembali ke pentil susu .yang siap
menanti. Dibisapnya lagi. Digigitinya. Dikulum-kulumnya Lalu
dilepaskannya lagi. Sementara tangan Aningsih tak menentu
mengerumasi rambut Benny yang tebal, sehingga rambut lelaki itu
menjadi acak-acakan.
Lama Benny mencumbu sepasang susu yang indah
menggiurkan itu. Demikian pula dengan ketiak perempuan itu. Benny
tak mau membiarkan menganggur. Ketiak Aningsih berbulu lebat.
Sesuai dengan selera Benny. Benny memang paling senang dengan
perempuan-perempuan yang cantik yang ketiaknya berbulu lebat.
Sesuai dengan pengalaman Benny, biasanya perempuan-perempuan itu
bertemperamen panas.
Benny menciumi ketiak perempuan itu, lalu
menurun sampai ke pinggang sebelah kiri. Naik lagi ke ketiaknya,
menurun lagi sampai ke pinggangnya. Demikian berulang-ulang.
Benyy juga menggunakan ujung lidahnya untuk menjilatjilat sambil
menggigiti keras dan lembut. “Uukh, Bennnn! Kami sungguh pintar
membahagiakan perempuan . . . !!!” bisik Aningsih terputus-putus.
Benny
bukan hanya sekali ini mendengar ucapan seperti itu. Ketika mencumbu
ibu kostnya, Tante Dewi, Benny juga menerima ucapan-ucapan seperti
itu. Di samping itu, Tante Dewi juga mengatakan, bahwa seumur
hidupnya, dia takkan mampu melupakan Benny.
Permainan lidah
Benny terus dengan gencar menyerang tempat-tempat di tubuh
Aningsih yang sensitip. Dijilatinya perut Aningsih yang licin dan
langsing. Pusarnya menjadi sasaran ciuman-ciuman Benny berulang-ulang.
Sambil berbuat demikian, tangan Benny membelai-belai kedua paha
Aningsih yang masih terkatup.
Aningsih sudah gemetar
tubuhnya. Panas dingin. Ketika Aningsih menengok ke bawah,
pandangannya beradu pada sesuatu di antara kedua paha Benny.
Aningsih menelan ludah. Benda itu sejak tadi menggodanya. Aningsih
menurunkan tangannya. Digenggamnya batang zakar Benny yang aduhai.
Benny yang sedang menciumi sedikit di bagian bawah pusar Aningsih
tertahan-tahan napasnya. “Oukh. Mbak . . . !” katanya. Aningsih
merasakan benda yang digenggamnya, yang baru separuh tegang,
hangat dan besar. Senang sekali menggenggam seperti itu.
Sementara itu. tangan Benny masih juga terus meraba-raba Aningsih
berganti-ganti.
“Sabar, Mbak!” bisik Benny. “Nanti Mbak boleh
berbuat apa saja terhadap punyaku. Tetapi sekarang, aku sedang
ingin mencumbu tubuh Mbak. Seluruh tubuh Mbak! Kurang leluasa
kalau Mbak menggengam punyaku begini!”
Apa boleh buat. Meskipun
Aningsih masih ingin menggenggam batang zakar yang luar biasa
itu, terpaksa dilepaskan. Maka kini dengan leluasa melakukan
aktifitasnya.
Dan . . . hhmmmh! Benny menahan napas bilamana
pandangannya ditujukan ke selangkangan Aningsih. Bagian itu
gompyok ditutupi rambut yang tebal keriting. Hmmh! Rambut
kemaluan Aningsih bukan main lebat dan ikal. Menghitam! Kata
orang, semakin tebal rambut kemaluan perempuan akan semakin enak
kalau digituin. Dan sekarang, secara jujur, Benny harus mengakui,
bahwa dia belum pernah mendapatkan perempuan yang rambut
kemaluannya setebal dan selebat Aningsih. Benny menelan ludah. Jika
menuruti nafsunya, tentu saja seketika itu juga Benny akan
membenamkan batang kemaluannya yang sudah kian tegang, ke belahan
daging hangat di balik rimbunan hutan lebat itu. Tetapi Benny
bukanlah type lelaki yang serba grasa-grusu. Dia tidak akan
menggituin pereinpuan, sebelum lebih dulu memberikan kesan yang
sangat mendalam. “Oukh, Ben!” Aningsih menepuk pipi Benny lembut.
“Kau kok jadi berobah seperti patung! Apa aku ini aneh bagimu!”
Benny
menelan ludah sambil tersenyum. “Bukannya aneh, Mbak. Tetapi anumu,
nih . . . !” ujar Benny sambil membelai rambut kemaluan Aningsih.
“Rambut kemaluan ini indah dan menawan sekali. Baru rambutnya
saja sudah begini menggiurkan, apalagi kemaluanmu. Tentunya enak
sekali. Hmmh!”
Aningsih tertawa kecil. “Kau senang sekali pada
rambut kemaluanku. Ben?!” tanya Aningsih sambil menggosok-gosok
bulu-bulu rambut di dada Benny.
“Senang sekali, Mbak. Senang sekali,” Benny masih terus dengan mesra membelai-belai rambut kemaluan yang indah itu.
“Kamu sering mengerjai perempuan yang rambut kemaluannya setebal punyaku!”
“Belum, Mbak. Baru sekali ini. Bahkan aku pernah menccipi punya perempuan yang botak!” ujar Benny.
Aningsih
tertawa kecil lagi sambil mengerumasi ramhut Benny. “Nah,
terserah kaulah. Perbuatlah apa saja yang kau sukai pada punyaku!”
Walaupun
tanpa diperintah seperti itu, tentu saja Benny akan berbuat
sesukanya terhadap kemaluan Aningsih yang kini sudah terpampang di
hadapannya. Benny menggerai-geraikan rambut kemaluan yang tebal,
panjang dan keriting itu. Lalu ditekan-tekannya. Lalu diciuminya.
Kadang-kadang ditarik-tariknya. Aningsih merasakan kemesraan
amat sangat. Secara naluriah, pahanya mulai membuka sedikit demi
sedikit. Jari-jari tangan Benny bermain-main di pebukitan itu.
Hmmh, mesranya! Selangit!
“Bennn !!” Aningsih merintih.
Benny
menguakkan bibir-bibir kemaluan Aningsih. Hmm, tampak bagian
dalamnya yang kemerahan. Sangat indah menawan. Benny menelan ludah.
Beginilah kiranya kemaluan perempuan. Dengan mesranya, Benny
meraba-raba vagina yang indah itu. Merah dan licin. Pada bagian
atas, pada pertemuan antara dua bibir, tampak sekerat daging
kecil. Nyempil sendirian. Tidak berteman. Sungguh kasihan. Benny
memandangi sepuas-sepuasnya panorama indah mengesankan itu.
Ningsih memijit hidung Benny agak kuat. “Oukh, Ben! Mengapa cuma
melihati saja?! Memangnya punyaku barang tontonan!”
Benny
tersenyum. Tahulah dia, bahwa Aningsih sudah kepingin sekali
dikerjai vaginanya. Padahal Benny masih ingin lebih lama memandangi.
Vagina Aningsih rasanya lebih indah dari pada vagina-vagina
perempuan lain yang pernah disaksikannya. Dengan mesra, jari-jari
Benny menyentuhnya. Aningsih tergelinjang. “Wow! Hmmh,
Bennnnnnn!! Ss sh, akh!” Aningsih menggeliat. Jari Benny terus
juga bermain. Mengutik-utik kelentit yang nyempil aduhai.
Benny
menempatkan di antara kedua paha Aningsih yang sudah mengangkang.
Liang vagina yang sebaris dengan sibakan bibir inilah yang dapat
menjepit dan memberikan kenikmatan kepada zakar. Lagi-lagi tangan
Benny menyentuh kelentit yang cuma sekerat itu. Dan lagi-lagi
Aningsih bergelinjang. Nikmatnya bukan main. Orang suka bilang,
kelentit itu bisa berdiri. Benarkah?! Benny senang sekali dan
mengulangi perbuatannya berkali-kali. “Oukh, geli, Ben! Geliiiii!
Sssh, akhh . . . !!” Aningsih merintih-rintih.
Tingkah Benny saat
itu, bagaikan kanak-kanak yang memperoleh permainan yang
mengasyikan. Permainan yang tidak ada dijual di toko. Semakin giat
Benny menyentuhi sekerat daging kecil itu. Aningsih mengerumasi rambut
Benny.
Tidak puas dengan hanya menyentuh dengan tangan
saja, bibir-bibir kemaluan yang ditumbuhi rambut itu, dikuakkan
oleh Benny semakin lebar lagi. Kedua kaki Aningsih kini telah
niengangkang selebar-lebarnya, menekuk ke atas. Sekarang, bagian
dalam kemaluan itu telah terpampang selebar-lebarnya. Terbebas
sama sekali. Sedetik kemudian, Aningsih terpekik: “Awww . . . !”
Tubuhnya tersentak ke atas. Rupanya Benny telah membenamkan hidungnya ke
dalam belahan daging yang aduhai itu. “Bennn . . . !! Uf ! Ssssh
ennnakhhh, Bennn!!” Aningsih merintih-rintih sambil menekankan
belakang kepala Benny dengan kedua tangnnya. Maka hidung Benny
mulal menggusur ke sana-ke mari. Seperti akan membongkar seluruh
bagian vagina Aningsih. Kaki Aningsih menendang-nendang ke atas,
merasakan kenikmatan tidak bertara. Benny terus dengan giatnya
menciumi. Vagina Aningsih menyebarkan aroma yang segar
merangsang!
“Oukh, Bennn! Enak . . . enak . . . enak, sayangghhhh!
Teruskan, Ben! Ayo, lebih cepat .dikit. Hmmmh Bennnn! Terus,
sayang. Terus, terus, akhhhh !!”
“Aku juga, Mbak! Aku . . . aku . . . juga enak,” bisik Benny sambil juga menggunakan. lidahnya, menjilat dan menjilat.
Mata
Aningsih merem melek. Kepalanya terlempar ke sana-ke mari. Lehernya
menggeleyong-geleyong. “Bennn! Kamu senang menciumi punyakuuuu . . .
?!! Shhh . . . !!!” tersendat-sendat suara Aningsih.
“Senang
sekali, Mbak! Punyaku jadi semakin tegang, nih!” kata Benny
tersendat-sendat pula. Dan lidah Benny terus juga menjilat dan menjilat.
Menyapu-nyapu kelentit Aningsih. Benar saja! Kelentit itu
semakin tegak, menandakan Aningsih telah terbakar oleh nafsu
birahi. Kedua kaki Aningsih terus menyentak-nyentak ke atas.
Pantatnya diangkat dan digoyang-goyang. Oukh, sungguh, permainan
yang mengasyikkan.
Benny benar-benar menyukai menciumi dan
menjilati vagina Aningsih yang harum itu. Sama sekali tidak
jijik. Justru sebaliknya. Ketagihan. Benny semakin rakus dan
semakin rakus.
“Bennn!!! Hhhssshh. Hmmm . . . hmmmhhh!” suara
Aningsih menggeletar. Badannya nienggeliat-geliat tak menentu.
Tubuhnya menggelepar-gelepar, bilamana ujung lidah Benny
mengait-ngait dan menusuk-nusuk liang vagina Aningsih yang terasa
liat. Sentuhan-sentuhan lembut vagina yang berdenyut-denyut itu
kian membakar nafsu birahi. Dan tiba-tiba Aningsih mengejang.
“Bennn . . . !! Sssh ! Akkkhhhuuu tak kuaattsss, sayaugghh . . .
!!” Aningsih merentak-rentak.
“Ayoh, Mbak! Keluarkan! Aku sudah
siap menerima!” ujar Benny yang terus juga dengan bersemangat
menusuknusuk vagina Aningsih dengan ujung lidahnya.
“Iyyaa,
Bennnn! Akhhhu shhi . . . aukhh! Bennn! Ennnakkhhhh, meronta-ronta
bagaikan kesetanan. Berbarengan dengan jeritannya yang menyayat,
Aningsih mengangkat pantatnya tinggi-tinggi dan menekankan
belakang kepala Benny sekuat-kuatnya, sehingga tanpa ampun
separuh wajah Benny membenam sedalam-dalam ke bagian dalam
kemaluan Aningsih. Bertepatan dengan itu pula, menyemprotlah
cairan hangat dan licin. Kental. Menyiram lidah Benny yang terus
menusuk-nusuk lobang vagina Aningsih.
Benny yang memang sudah siap
menerima, bagaikan kesetanan, menghirup habis cairan yang banyak
sekali itu. Terus dijilat dan disapu bersih, masuk ke
kerongkongannya. Sudah tentu Aningsih semakin berkelojotan, dikarenakan
rasa nikmat yang luar biasa sekali. Sampai akhirnya tetes cairan
yang terakhir. Tubuh perempuan itu melemas. Sedangkan Benny
sendiri, merasakan pula nikmat luar biasa ketika mereguk cairan
licin itu. Cairan kenikmatan Aningsih gurih sekali, lebih gurih
dari pada segala yang paling gurih di dunia ini !
Benny
tertunduk sambil menjilati sisa-sisa cipratan cairan Aningsih yang
melekati pinggiran bibirnya. Aningsih melompat dan memeluk Benny
kuat-kuat. “Oukh, Bennn! Terima kasih, sayangl Kau hebat! Jantan! Kau
mampu membuat perempuan bahagia!” dan Aningsih menciumi bibir
Benny bertubu-tubi.
“Aku sampai kenyang menelan cairanmu. Banyak dan kental sekali! “ujar Benny.
“Kau tidak jijik, Ben ?!”
“Sama sekali tidak. Malah aku ketagihan. Kalau masih ada, aku masih mau meneguknya lagi!”
Aningsih
tambah gembira. Menciumi lagi bibir Benny bertubi-tubi. Kemudian
didorongnya tubuh lelaki muda itu sehingga tergelimpang di atas kasur.
“Kau sudah mengerjai punyaku! Sekarang, ganti aku yang mengerjai
punyamu!” ujar Aningsih yang segera menyergap selangkangan Benny.
“Auwww . . . !” Benny menjerit kaget.
Namun
Aningsih tidak menghiraukan. Batang bazoka Benny yang sudah
benar-benar tegak mengacung, sejak tadi sangat menggoda. Aningsih sudah
ingin sekali menciumi dan mengemoti. Dan sekarang, keinginan
itupun kesampaian.
Dengan mesranya Aningsih membelai-belai
batang kemaluan itu yang bukan main luar biasa besar dan
panjangnya. Demikian pula dengan kepalanya yang berkilat dan
membengkak. “Oukh, punyamu hebat sekali, Ben! besar dan panjang.
Hmmhh . . . !!!” Aningsih terus juga membelai sambil sesekali
menggenggam. Mulai dari pangkalnya yang dipenuhi rambut lebat sampai ke
ujungnya yang berkilat dan membengkak, berbentuk topi baja.
“Kamu
suka pada punyaku, Mbak?!” tanya Benny sambil membiarkan Aningsih
mengeser-geserkan zakarnya yang hebat itu ke pipi dan matanya.
“Suka sekali, Ben! Tetapi ugh! Punyamu besar banget. Bengkak! Aku jadi negeri!”
“Ngeri kenapa?!”
“Ngeri kalau-kalau vaginaku sobek dan rusak!”
Beny teatawa kecil. “Kau ini ada-ada saja. Kan semakin besar semakin enak!”
“Iya! Tetapi punyamu ini besarnya nggak ketulungan!” ujar Aningsih.
Benny
tertawa lagi. Batang zakarnya berkejat-kejat digenggaman Aningsih.
“Aku belum pernah merasakan batang zakar yang besar dan panjangnya
kayak punyamu ini,” ujar Aningsih lagi.
Benny merasakan
geli dan nikmat bukan main ketika Aningsih menciumi zakarnya yang
semakin membengkak. Rasa geli yang nikmat dirasakan Benny. Tubuh
lelaki itu kejang. Matanya membeliak-beliak. “Hmmh, Mbak! Sssh . . .
!” mulutnya mulai merintih-rintih.
Sambil menciumi, Aningsih
memijit-mijit batang bazoka yang keras bagaikan tonggak itu.
Menjadikan Aningsih gemes. Ujung lidah menciumi benda aduhai itu.
Benda yang dapat memberikan kenikniatan luar biasa kepada wanita.
“Ben! Perempuan-perempuan yang sudah kau kerjai, pasti pada
ketagihan!” ujar Aningsih.
Benny tidak menjawab. Dia mendacap-decap bagaikan orang kepedasan. Tengah meresapkan kenikmatan yang luaz biasa. Lezat!
Alat
vital dalam genggaman Aningsih itu semakin membengkak dan semakin
memanjang lagi. Aningsih yang gemas bukan main, semakin tak tahan.
Segera dia menempatkan dirinya sebaik-baiknya diantara kedua kaki
Benny yang tertekuk. Kedua paha Benny terlentang
selebar-lebarnya, sehingga tangan kanan Aningsih menggenggam alat
vital yang kencang itu, tangan kirinya memhelal-belai rambut
kemaluan Benny yang tebal dan ikal, tumhuh sanipai ke pusar.
Merinding bulu-bulu roma Aningsih bilamana dia menciumi seluruh
batang dan kepala kemaluan yang luar biasa itu. Bukan main. jari jari
Aningsih hampir tidak muat menggenggam alat vital yang luar biasa
itu. Memang inilah yang sangat disukai Aningsih. Dulu, dia pernah
mendapatkan lelaki yang juga memiliki bazoka besar. Dan sejak
itu, Ningsih sangat merindukannya. Dan baru sekarang, dia
memperolehnya kembali setelah bertahun-tahun berselang. Aningsih
yang semakin gemas segera menjulurkan lidahnya, menjilat batang
kemaluan itu. Lalu dingangakannya mulutnya dan dimasukkannya
bazoka luar biasa itu. Keruan saja Benny nienggelinjang kaget
namun nikmat. “Ouw, Mbak! Hmmh . . . enak sekali, Mbak!” Benny
merintih. Kedua kakinya terangkat naik dan menyepak-neyepak ke atas.
Mendengar
rintihan Benny, Aningsih jadi semakin bersemangat. Kepala bazoka
yang berbentuk topi baja itu dikulumnya. Digigitnya. Tingkah Aningsih
tidak ubahnya, bagaikan seseorang yang mendapat makanan lezat.
Nikmat sekali. Sampai matanya terpejam-pejani. Air liurnya
menetes-netes. Kepala yang berbentuk topi baja itu sangat hangat
dan. kenyal. Demikian pula halnya dengan Benny. Kunyahan-kunyahan
mulut Aningsih dirasakannya sangat nikmat dan merangsang nafsu
birahinya. Benny merintih-rintih. Kedua kakinya semakin menyepak.
Matanya mebeliak-beliak, sehingga hanya putihnya saja yang
tampak. Aningsih kian bersemangat. Sekarang, bukan hanya
kepalanya saja yang dikulum dan digigiti Aningsih, tetapi seluruh batang
kemaluan yang perkasa itu. Semntara itu, kedua telapak tangan
Aningsih tidak tinggal diam. Sementara mulutnya mengulum,
tangannya menarik-narik rambut kemaluan Benny yang luar biasa
lebarnya. Dan tangan yang satu lagi mempermainkan sepasang biji
milik Benny.
“Enak, Ben . . . ?!” tanya Aningsih ditengah-tengah kesibukannya.
“Enak sekali Mbak. Ennaaakkkh !!!” Benny berusaha menyahuti tersendat-sendat. Kedua tangannya.
Aningsih
terus juga melalap senjata yang luar biasa itu. Demikianlah
secara beraturan, kepala dan batang zakar Benny keluar masuk mulut
Aningsih. Pada waktu masuk, mulut Aningsih sampai kempot. Sedangkan
pada waktu keluar sampai monyong. Semakin lama semakin cepat.
Tubuh Benny gemetar. Jemarinya mencengkeram rambut Aningsih
kuat-kuat. Rintihan . . . rintihannya semakin menghebat,
sementara Aningsih kian gencar menyerbu menggebu-gebu. Akhirnya,
Benny menjerit histeris. Pantatnya diangkatnya tinggi-tuiggi,
sedangkan kedua telapak tangannya menekan belakang kepala
Aningsih kuat-kuat. Dan batang serta kepala kemaluan Benny pun membenam
sedalam-dalamnya, merojok sampai ke tenggorokan Aningsih. Dengan
bersemangat sekali, tangan Aningsih mengocok pangkal kemaluan
Benny dengan cepat dan mesra. Dan tanpa ampun lagi : “Crroott!
Crrrroooottss! Crrottttsssss . . . !!!” menyemprotlah cairan
kental dari dalam batang kemaluan yang berdenyut-denyut dengan
dahsyatnya. Daya semprotnya luar biasa sekali. Tubuh Benny
menggigil. Aningsih tidak menyia-nyiakan kesempatan. Dengan
nikmat sekali disedotnya batang kemaluan Benny. Maka tanpa ampun,
bergumpal-gumpal cairan kenil:matan Benny, tertumpah semuanya ke
dalam mulut dan tenggorokan Aningsih. Mata Aningsih sampai
terpejam-pejam, menelan seluruhnya sampai tetes terakhir. Benny setengah
mengeluh memejamkan matanya. Tubuhnya lemas tidak bertenaga.
“Oukh, Mbak. Kau sungguh hebat!” bisiknya.
Aningsih tertawa
sambil menyeka mulutnya yang sebagian masih dibasahi sisa-sisa
cairan kental. “Bagaimana, Ben?! Enak?!” tanya Aningsih.
Benny
menarik lengan Aningsih, sehingga perempuan itu jatuh ke dalam
dekapannya. “Enak sekali, Mbak. Oukh, enak sekali! Kaupun mampu
membahagiakan lelaki!” ujar Benny.
Aningsih tersenyum mendengar pujian Benny, “Aku haus, Ben. Tolong ambilkan aku minum di meja itu, dong!” ujar Aningsih.
Benny
melompat turun dari tempat tidur, menuangkan Fanta merah dari botol
besar ke gelas sampai penuh. Kemudian memberikannya pada Aningsih.
Aningsih meneguknya dengan lahap. Haus sekali rupanya. Sampai
habis tiga perempat gelas. Kemudian Benny menuangkan lagi ke
gelas sampai penuh, kemudian meneguknya sampai habis.
“Benny
. . . !” mata Aningsih berkejap-kejap. Punyaku sudah ingin sekali
dimasuki punyamu.” Dan Aningsih melirik ke selangkangan Benny.
Senjatanya masih tegang mengacung.
“Kita istirahat dulu sebentar ya, sayang!” bisik Benny sambil membelai rambut Aningsih.
T I G A
HANYA
SEPULUH menit mereka membutuhkan waktu istirahat. Benny naik ke atas
tubuh Aningsih yang sudah siap menanti. Kedua susunya menyembul
putih bagaikan salju. Benar-benar menantang. Pinggangnya ramping
dan pinggulnya mekar dan indah. Benny menciumi bahu dan payudara
Aningsih, sementara bazokanya yang sudah benar-benar tegang
menggeser-geser di paha Aningsih.
Aningsih menggenggam batang
bazoka Benny yang sangat kekar. Sambil membalas ciuman-ciuman
Benny yang bertubi-tubi dibimbing dan kemudian ditempatkannya
kepala kemaluan Benny yang sudah membengkak tepat di ambang gua
vaginanya. Sementara itu, kedua paha Aningsih sudah direntangkannya
selebar-lebarnya. “Benn . . . !! Pelan-pelannn, sayanghhh!!” bisik
Aningsih gemetar. “Kepunyaanmu besar sekali!”
Benny
mengangguk. Dirasakannya kehangatan menyengat pada kepala zakarnya.
“Ayoh, Benn! Tekan, sayangghh!! Sssshh . . . pelan-pelllaann !!”
Aningsih memejamkan matanya.
Benny mendorong pantatnya. Dan
kepala zakarnya pun melesak, dan: “Auww . . . !!!” Aningsih
menjerit tertahan. “Bennnnnn!! Sssaakkhittsss!” dan tubuh
Aningsih mengejang, bergetar menahan rasa perih.
Benny mengerti.
Dia tidak main asal tabrak saja. Dinantikannya sampai rasa sakit
Aningsih. Benny merasakan lobang vagina Aningsih menjepit keras,
mencekik leher zakarnya. Adduuuhhh! Bukan main nikmatnya!
“Ayoh, Ben! Tekan lagi!” bisik Ningsih setelah rasa sakit itu hilang.
Benny
menekan lagi. Dan srrrt! Dan batang zakar Benny yang luar biasa
besarnya itu melesak lagi sampai sepertiga. Dan sebagaimana yang
pertama, Aningsih tersentak sambil menjerit: “Addduuhhh! Bennn!
Ssssaakkhittss ”
“Tahankan, sayang!” bisik Benny sambil tersenyum
dan bertulang mengecupi mata Aningsih yang berlinang. “Nanti kau
akan merasakan nikmat yang luar biasa!”
Benny membiarkan
zakarnya membenam sampai sepertiga, kemudian ditariknya
perlahan-lahan sampai sebatas leher kemaluannya. Lalu ditekannya kembali
pantatnya. Dan batang bazoka yang luar biasa itupun menggelosor
masuk. Lagi-lagi Aningsih merasakan kemaluan Benny bagaikan
membongkar seluruh lorong vaginanya. Aningsih menggigit bibirnya
sendiri, menahan rasa sakit dan linu. Namun lama kelamaan, rasa
sakit dan linu itu semakin berkurang dan semakin berkurang lagi.
Sebagai gantinya, zakar Benny keluar masuk mulai mendatangkan
rasa nikmat luar biasa. Keluar-masuk. Keluar masuk! Demikian
berulang-ulang. Bless! Slessep! Bless! Slessep! Bagaikan kereta
api yang sedang langsir. Tetapi terbatas hanya sampai separuh saja. Pada
waktu didorong masuk, vagina Aningsih sampai kempot. Dan pada
waktu ditarik, sampai monyong . . . Hmmm! Kepunyaanmu enak
sekali, sayang. Sempit sekali. Rasanya hampir lecet kepunyaanku,”
kata Benny.
“Kepunyaanmu terlalu besar, Ben,” ujar Aningsih
sambil menggoyang-goyangkan pantatnya. Hal mana semakin
mendatangkan nikmat bagi Benny. Demikian pula bagi Aningsih.
Pinggulnya yang besar dan montok itu melakukan gerakan memutar,
seirama dengan keluar-masuknya batang zakar Benntu. “Bagaimana,
sayang?! Masih sakit?!” tanya Benny sambil mengecupi belakang
telinga Aningsih. Aningsih menggelinjang-gelinjang geli.
“Kemaluanmu enak sekali, sayang! Betul-betul lezat.” bisik Aningsih.
“Nah, apa kataku tadi. Rasa sakitmu cuma sebentar, kan?!” ujar Benny. “Kemaluanmu juga enak, Mbak. Enak sekali!”
“Bennn . . . !!” Ujar Aningsih yang tersenyum bangga, menerima pujian Benny.
“Ada apa?!” tanya Beatty.
“Apakah kepunyaankn betul-betul enak?!”
“Enak
sekali, sayang. Kepala zakarku bagaikan dipijit dan disedot-sedot.
Pokoknya lezaaatttss . . . !!” Benny meliuk-liuk ke sana-ke mari.
Tenutunya diapun sedang merasakan kenikmatan yang luar biasa sebagai
akibat pijitan-pijitan dinding-dinding lorong kemaluan Aningsih
yang bagaikan hidup. Sementara itu, cairan lendir semakin
membajiri lorong kemaluanku. Semakin licin dan basah.
“Nah.
manisku! Lorongmu semakin lancar sekarang,” bisik Benny dengan
mesranya. “Bagaimana kalau kubenamkan seluruh batang zakarku?!”
“Ayoh, sayang! Aku sudah siap,” kata Aningsih sambil mengangkangkan kedua pahanya lebih lebar.
Dan
Benny pun mendorong pantatnya sehingga kemaluannya lebih dalam
membenam ke dalam lobang vagina Aningsih. Blesss! Wow!, Aningsih
bagaikan melayang ke langit ketujuh. Terasa benar bagaimana
menggelosornya benda itu. Nikmat sekali. Tetapi Aningsih jadi
agak kecewa ketika Benny menghentikan dorongannya. Batang
kemaluannya yang kukuh bagaikan tonggak itu belum seluruhnya
masuk. Aningsih jadi penasaran dan mengangkat pantatnya
tinggi-tinggi. “Masukkan semua, Ben! Sanwa! Jangan disisakan
laghhiiiii! Masukkan, dorongghh . . . .!!” kaki Aningsih menjepit
pinggang Benny. Dan tangannya, berusaha mendorong pantat Benny ke
bawah. Benny mengerti, Aningsih sudah histeris. Sudah ingin
menikmati seluruh batang kemaluannya tanpa sisa lagi. Tetapi
bukannya mendorong, Benny malah mengangkat pantatnya. Dan
kemaluannya menggelosor ke luar. Aningsih jadi penasaran.
Diangkatnya pantatnya setinggi-tingginya. Bertepatan dengan itu,
Benny mengayunkan pantatnya kuat-kuat. Dan . . . blashhh!! Tanpa
ampun, seluruh batang kemaluannya yang kokoh, indah . . . dan perkasa
itu menghunjam dan membenam sedalam-dalamnya ke liang kemaluan
Aningsih. Aningsih menjerit sekuat-kuatnya. Tubuhnya
meronta-ronta ke sana-ke mari, bagaikan sapi disembelih. Dan,
“Crot! Crrrt! Crrrotttss . . . !!” semua cairan mani yang
tersimpan di dalam kandungannya, menyemprot seketika. Banyak
sekali. Membanjiri seluruh lobang gua Aningsih. Suatu kenikmatan
luar biasa yang sebelumnya belum pernah dirasakan oleh Aningsih. Dan
bersamaan dengan jeritan Aningsih, Benny pun mengeram kuat. sambil
merangkul tubuh Aningsih kuat-kuat. Aningsih merasakan tubuhnya
bagaikan remuk. Hmmmh!” Akh. Mbak! Hmmm! Akkkkhhhuuu keluarrr,
sssh! Mbaaakkk . . . sssh, ennnnaakhh!!” Benny meracau sambil
meronta-ronta. Matanya membeliak-beliak ke atas, sementara
kepalanya terlontar ke sana-ke mari. Dan bersamaan dengan itu,
Aningsih merasakan batang zakar Benny berdenyut-denyut keras dan
memuntahkan lahar panas. Berkali-kali terasa semprotansemprotan
itu. Maka lobang kemaluanku pun semakin membanjir.
Setelah
beberapa detik lamanya merasakan dirinya terlontar ke angkasa,
Benny merasakan dirinya lemas. Dan tergulirlah dari atas tubuh Aningsih.
Keduanya merasakan kepuasan amat sangat. Aningsih memijit hidung
Benny. “Luar biasa sekali,” ujar Aningsih. “Kaulah satu-satunya
lelaki yang berhasil memuaskanku, Ben!Sungguh!”
“Aku juga
begitu, Mbak. Baru kaulah yang benar-benar memuaskan diriku!”
balas Benny. Lalu keduanya berkecupan dengan mesranya.
Apa yang
dikatakan Aningsih memang benar. Dia sudah berpengalaman dengan
lelaki. Namun baru kali inilah mendapatkan kepuasan yang benar-benar
aduhai.
Tidak hanya sekali saja mereka lakukan kemesraan itu.
Namun berkali-kali. Dan berbagai pose pula. Model nungging, model
berdiri. Model diganjal bantal. Semuanya memuaskan! Aningsih
merasakan kebahagiaan amat sangat. Demikian pula halnya dengan
Benny. “Aku semakin mencintaimu, Mbak!” bisiknya.
Aningsih menggeleng-gelengkan kepala. “Kau belum tahu siapa diriku sebenarnya, Ben!” ujarnya Aningsih.
“Siapapun dirimu, aku tetap mencintaimu, Mbak!” ujar Benny lagi.
“Aku tidak peduli. Cinta tidak memandang umur. Pokoknya aku mencintaimu, Mbak. Dan aku ingin memilikimu!”
Aningsih
memijit hidung Benny dengan mesra. “Ih, dasar bandel!” ujar
Aningsih. “Kalau saja kau tahu siapa diriku, pasti kau akan membenciku!”
“”Tidak,
Mbak. Sungguh! Dengarlah. Diriku sendiripun sudah pantas untuk
menikah. Usiaku sudah dua puluh empat tahun. Aku sudah bekerja. Gajiku
cukup untuk hidup kita berdua. Di samping itu, orang tua aku di
kampung sudah sangat mengharapkan punya cucu dariku. Nah, apa
lagi, Mbak?! Apalagi?!”
“Kau ini nggak sabaran sekali, Ben!
Kita baru berkenalan, sudah mengajak kawin. Kau harus tahu,
perkawinan itu bukan sekedar barang permainann. Harus benar-benar
melalui pertimbangan yang masak. Kita harus berpikir, apakah
kita sudah benar-benar cocok. Kau belum tahu sifat-sifatku dan
akupun belum tahu sifat-sitatmu. Tunggulah sampat tiba saatnya kita
sudah benar-benar siap untuk menikah!
Benny tidak menjawab. Hanya merenung.
“Deagarlah,
Ben!” ujar Aningsih sainbil mempermainkan bulu-bulu dada Benny.
“Dan pikirkanlah. Aku ini janda. Bercerai dua tahun yang lalu
karena tidak ada kecocokan. Untung saja akn belumpunya anak. Nah, aku
tidak ingin jika nanti aku harus menjadi janda untuk kedua kalinya.
Aku harus berhati-hati!”
“Baiklah, Mbak. Aku . . . aku . . . akan memikirkannya! Akn . . . aku akaa bersabar menunggu,” jawab Benay.
JAM
SATU lewat tengah malam, Benny meninggalkan rumah Aningsih. Sebenarnya
berat sekali harus berpisah. Namun Benny ingat, besok dia harus
ngantor. Sedangkan dia tidak membawa pakaian ganti. Sampai di
rumah kostnya, Taate Dewi sendiri yang membukakan pintu. “Kau
dari mana, Ben?! Kok sampai malam sekali pulangnya,” kata Tante
Dewi yang heran atas tingkah Beany. Tidak biasanya Benny pulang
di malam selarut ini. Paling malam, jam sebelas. Benny termasuk
kategori orang yang lebih suka tinggal di rumah daripada
kluyuran.
“Ini, Tante. Teman ulang tahun!” ujar Benny seenaknya, sambil terus mendorong motornya ke belakang.
Tante
Dewi menguncikan kembali pintu, kemudian mengikuti langkah-langkah
Benny ke kamar. Baru saja Benny melepaskan sepatunya, Dewi telah
memeluknya. Benny! Uf!” Tante kangen sekali padamu. Seminggu kita
tidak berkencan. Sekarang, Oom sedang ke luar kota. Tadi pagi
berangkat!” ujar Dewi sambil mulutnya menghujani bibir Benny
bertubi-tubi.
“Uf! Saya letih sekali. Tante. Lain kali saja!” ujar
Benny sambil berusaba menghindari ciuman-ciuman Dewi. Tetapi
Dewi yang sudah naik spanning, tak mau peduli. Dewi mendorong
tubuh Benny, sehingga lelaki itu tergelimpang ke alas tempat
tidur. Dengan tergesa, Dewi cepat sekali mcmbukai hemd Benny.
Sesaat kemudian, hemd itu telah melayang kc lantai. Menyusul celana
panjang, dan celana dalamnya. Kemudian dengan tergesa pula, Dewi
melepaskan dasternya sendiri.
Dewi, perempuan yang walaupun
telah berusia di atas tiga puluh tahun itu, ternyata memiliki
tubuh yang aduhai sempurna. Seperti gadis yang berusia dua puluh
tahun saja. Masih sekal dan menggiurkan. Dan Benny yang
bertemperamen panas, sekalipun sudah letih sekali, segera naik nafsu
birahinya.
“Benny! Tante sudah sangat rindu. Sudah lama
mennnggu kesempatan seperti ini. Jangan kecewakan Tante, Ben!
Bennnnn!!” ujar Tante Dewi merengek-rengek, seraya
menggosok-gosokkan buah dadanya yang sekal padat ke dada Benny
yang bidang dan berbulu lebat. Sementara itu, tangan Tante Dewi
meluncur ke bawah dan meremas-remas milik Benny yang besarnya lebih
besar dari pada pisang ambon. Dalam waktu tidak lama senjata Benny
sudah benar-benar tegang. Tegak bagaikan tonggak. Besar dan
panjangnya minta ampun. Tante Dewi yang sudah tidak bisa lagi
menahan keinginannya, melompat ke atas tubuh Benny, Kedua pahanya
mengangkang di atas selangkangan Benny. Digenggamnya senjata
yang aduhai itu. Dengan mesranya dibimhingnya menuju lobnag
vaginanya yang sudah menganga, siap menanti datangnya sang
perkasa. Diletakkannya tepat di mulut gua. Kemudian Tante Dewi
menekan pantatnya. Dan: “Ohg . . . !!” kepala kemaluan itu melesak
masuk. Blesss! Tante Dewi nyengir-nyengir kuda, menahan rasa sakit dan
linu. “Hnmmhh . . . ehg!” Bennypun nyengir, menahan nikmatnya
kepala kemaluannya digigit dan dipijit-pijit oleh mulut vagina
Tante Dewi yang berkerinyut-kerinyut kencang.
“Oukh, Bennn!
Hmmhh . . . ssshhh . . . !!” Tante Dewi gemetar tubuhnya. Tetapi
cuma sesaat. Tante Dewi yang sudah terbiasa menikmati kepunyaan
Benny segera hilang rasa sakitnya. Dan Tante Dewi menekan lagi.
Blassssh! ! !” Oukhhhh, Bennnnnn! Hmhhh . . . enak sekali ,
sayang hhhhh. Ssssh . . . !!” Mata Tanta Dewi membeliak-beliak.
Batang zakar Benny telah amblas seluruhnya ke pangkal-pangkalnya.
Tanta Dewi merasakan kenikmatan bukan alang kepalang. Demikian
pula halnya Benny. Dinding-dinding vagina Tanta Dewi bagaikan
hidup, menekan-nekan batang kemaluan Benny. Nikmaaaaat! Tanta
Dewi menarik lagi pantatnya ke atas. Dan . . . uf! Seluruh isi
bagian dalam lorong vagina Tanta Dewi bagaikan terbongkar bersamaan
dengan menggelosornya zakar Benny. Demikian pula Benny. Lorong
vagina Tanta Dewi bagaikan menyedot-nyedot. Benny mendesah-desah.
Tante Dewi bagaikan kesetanan, menggoyang-goyangkan pantat dan
pinggulnya yang besar, montok dan putih itu. Benny mengangkat
pula pantanya, mengimbangi gerakan-gerakan Tante Dewi. Ternyata
dengan posisi ini, cukup mendatangkan kenikmatan juga. Tantea
Dewi di atas dan Benny di bawah. Sambil terus juga dengan
bersemangat menaik turunkan pantatnya. Tanta Dewi menciumi bibir Benny
bertubi-tubi. Benny membalas tak kalah semangat.
Lidahnya
masuk dan mengait-ngait lidah serta gigi-gigi Tante Dewi yang
bersih, putih dan bagus bentuknya. Sementara itu, tangan Benny pun tidak
tinggal diam, meremas-remas payudara Tanta Dewi yang kenyal,
padat dan besar. Tentu saja dengan remasan-remasan mesra!
Tante
Dewi semakin lama semakin kesetanan. Benny pun demikian pu1a.
Keduanya merasakan ada sesuatu yang mendesak-desak darl dalam diri
mereka. Semakln lama desakan-desakan itu semakin kuat sehingga
membuat napas mereka tersendat-sendat. Ibarat orang yang sedang
mendaki bukit untuk mencapai puncak. “Ehb, Bennn . . . !!!”
“Hmnmh! Sssh . . . oukh, Tante! Cepat dikit, sayang! Ayoh, Tante!”
“Bennnn! Sash . . . eng! Ennaaaaaakhh, say . . . !!”
“Sssst! Hmmmh . . . !!”
“Bennnn! Akh! Akhhuu mau keluarrrr . . . say!”
“Sayyyaaa jugghaaa, Tan . . . ! Oukh! Ayoh, Tantea! Putar terus! Semangat, Tante! Semangat! Oukh . . . !!”
“Bennnnn
!!!” Tante Dewi semakin kesetanan. Tangannya mengerumasi dada
Benny, sehingga Benny kesakitan. Namun bercampur enak. Demikian pula
dengan tangan Benny. Membantu pantat dan pinggul Tanta Dewi. Disaat
menurunkan pantatnya, Benny membantu dengan menekankan pantat
Tanta Dewi kuat-kuat ke bawah. Blasssh!! Maka tanpa ampun,
amblaslah seluruh zakar Benny ke dalam kemaluan Tante Dewi. Masuk
ke pangkal-pangkalnya!
“Bennnnnnn!!” Tante Dewi meronta-ronta di
atas tubuh Benny.” Ennnaaakhh, Bennn! Akkhhuuu tak kuatttsss
laggghhhi, say!! Akhhu kelluuuuarrr! Ssssh . . . akkkhhhh . . .
!!” bersamaan dengan jeritan Tante Dewi, tubuh perempuan itu
berkelojotan ke sana-ke mari. Kedua kakinya menyepak-nyepak.
Tante Dewi mencapai puncak kenikmatan sempurna, yang tidak pernah
diperolehnya dari suaminya yang setengah impotent. Benteng
pertahanannya bobol! Bertubi-tubi bagian dalam lobang vaginanya
menyemprotkan cairan kental, hangat dan licin.
Secara
hampir bersamaan pula Benny pun mengeram keras. Bagaikan harimau
lapar, Benny memeluk Tante Dewi kuat-kuat. Dan kemudian dengan sigap,
Benny membalikkan tubuhnya, sehingga tubuh Tante Dewi yang berada
di bawah. Benny menekan kuat sehingga Tante Dewi gelagapan.
Batang zakar Benny berdenyut-denyut keras. Dan cairan kental,
hangat dan licin pun bertubi-tubi pula menyembur, membanjiri
lorong vagina Tante Dewi yang memang sudah banjir!
Tante
Dewl tergelincir dari atas tubuh Benny. Terkulai lemas. “Bennnn!
Oukh, aku puasss sekali!” bisik Tante Dewi sambil memeluk Benny dari
samping.
Benny tak menjawab. Memandang langit-langit. Batang
zakarnya masih tegak. Basah dan licin bekas-bekas cairan
kenikmatan mereka berdua. Tante Dewi menciumi Benny bertubi-tubi.
Tangannya meluncur ke bawah dan mulai mengurut-urut batang zakar
Benny yang kehitaman. Rupanya Tante Dewi termasuk perempuan
bertemperamen panas juga. Nafsunya menggebu-gebu. Merupakan
pasangan setimpal dengan Benny. Diurut-urut terus oleh Tante Dewi
mesra, nafsu Benny bangkit kembali. Napas Benny mulai lain. Tante
Dewi senang sekali. Dia melompat dari sikap berbaringnya.
“Ayoh,
Bennn! Timpah aku dari belakang!” ujarnya sambil mengambil posisi
nungging. Pantatnya yang besar dan montok itu diacu-acukan ke depan.
Melihat pemadangan yang sangat merangsang itu, Benny, tak kuat
lagi menahan diri. Dia melompat ke belakang pantat Tante Dewi.
Dengan bernafsu, Benny meremas-remas dan menggigiti bungkalan
pantat Tante Dewi yang bundar dan putih. “Ayoh, Ben! Timpah aku!
Hantam, Bennnn! Hantam! Jangan sungkan-sungkan! Lakukan saja
sekehendakmu!”
Ditantang seperti itu, tentu saja Benny yang
berdarah jantan dan panas, tidak akan mundur. lnilah yang membuat
Tante Dewi senang; sekali. Benny benar-benar kuda. Berapa
kalipun melakukan sanggama, dia tetap siap. Tidak seperti
kebanyakan lelaki-lelaki lain, yang sudah loyo hanya baru sekali
atau dua kali bertempur saja.
Benny mengambil posisi di belakang
tubuh Tante Dewi yang nungging. Digenggamnya batang zakarnya yang
sudah siap tempur. Diselipkan diantara belakang kedua paha Tante
Dewi, dan kemudian menerobos bibir-bibir kemaluan Tante Dewi
yang mencuat dan sudah terbelah. Dan, “Ehg . . . !!” Tante Dewi
menahan napasnya. Kepalanya menyentak ke atas. Walaupun sudah
terbiasa, mencicipi kepunyaan Benny, namun pada saat pertama kali kepala
kemaluan yang bengkak itu menyelip, selalu Tante Dewi merasa
kaget dan sedikit sakit!
“Ayoh, Ben! Aku sudah siap . . .
!!” ujar Tante Dewi dengan tubuh sedikit bergetar, menahan berat
tubuh Benny yang memeluk pinggangnya dari belakang. Tante Dewi
lebih menunggingkan pantatnya, sehingga bukit kemaluannya yang
sudah bengkak itu semakin mumbul. “Hantammm, Bennnnn!” ujar Tante
Dewi yang seolah-olah komandan memberikan aba-aba pada anak
buahnya untuk bertempur.
Benny segera melakukan tugasnya. Mengayun
pantatnya. Dan batang zakar yang segede alaihim itupun
menggelosor masuk, menerobos belahan daging kemaluan Tante Dewi
dari belakang. Tante Dewi meringis-ringis, merasakan nikmat yang
tidak bertara. Seluruh urat-urat tubuhnya bagaikan mengembang.
“Terus, terus Bennnn! Semuanya, sayangghhh . . . !! Jangan disisakan!
Semuanya . . . oukhhhhh!!” Tante Dewi merintih-rintih dengan suara
sengau.
Benny merasakan hangat menyengat dan pijitan-pijitan
lembut dinding-dinding vagina Tante Dewi membuat nafsunya semakin
bergelora. “Oukh, Tante! Enaakhhh banget, khoook?!” Benny
menggumam dengan mata merem melek. Pada waktu senjata Benny
menggelosor masuk, Tante Dewi mengangkat pantatnya tinggi-tinggi,
menyambut terobosan maut yang sangat mesra itu. “Ayoh, Bennnn!
Hantammm terus! Yang keras, sayang! Kerassss, Bennnn!
Kerasssshhhh . . . !!
“Tante Dewi mcnggoyang-goyangkan dan
memutar-mutar pinggul dan pantatnya dengan mesra sekali. Pada
waktu Benny menarik senjatanya, Benny agak sedikit menekan
pantatnya, sehingga Benny merasakan batang zakarnya yang luar
biasa itu bagaikan dipulir-pulir. Oukh, nikmatnya! Bukan main! Inilah
yang membuat Benny terkesan oleh Tante Dewi!
Sebagaimana yang
pertama, kali inipun keduanya sama-sama menyemprotkan cairan
kenikmatan. Banyak sekali. Tante Dewi tersenyum-senyum bahagia.
Oukh, Benny benar-benar hebat. Tante Dewi sudah beberapa kali
menyeleweng dengan lelaki-lelaki lain, dikarenakan suaminya tidak
dapat memberikan kepuasan. Namun diantara lelaki-lelaki itu,
hanya Benny yang dapat memberikan kebahagiaan sempurna. Dan sejak
Benny kost di rumahnya pada beberapa bulan yang lalu, Tante Dewi
tidak pernah main dengan lelaki-lelaki lain.
“Bennnn! Jangan tidur dulu! Aku . . . aku . . . masih kepingin, sayang!” bisik Tante Dewi.
“Ih, Tante kayak kuda betina saja!” kata Benny sambil memijit hidung Tante Dewi.
“Dan
kau kuda jantannya!” Tante Dewi tertawa kecil sambil menarik lengan
Benny. “Ayoh Ben! Kita bertempur sambil berdiri!”
Demikianlah,
sampai pagi, mereka terus bertarung. Entah berapa kali, tak
terhitung. Keduanya akhirnya sama-sama menggeros kelelahan setelah
matahari terbit. Namun sama-sama puas. Hari itu, Benny tidak ngantor.
Tenaganya terkuras habis!
E M P A T
BILAMANA BENNY
membuka matanya, ternyata matahari telah naik tinggi. Sinar
mataliari yang menerobos dari ventilasi, jatuh tepat ke wajah Benny.
Terasa panas. Benny melompat! Bekker di kamarnya telah menunjukkan
pukul sebelas. Oukh! Tadi sebelum tidur, tenaganya benar-benar
habis. Namun sekarang, Benny kembali segar. Sesegar bunga yang
baru mekar. Inilah kelebihan Benny yang sangat disenangi
perempuan-perempuan yang haus kasih sayang!
Pada saat
sedang duduk di pinggiran tempat tidur, Benny mendengar suara
cekikikan perempuan. Benny mengenali salah seorang diantaranya. Suara
tawa Tante Dcwi. Tetapi siapa seorang lagi ! Benny bangkit dari
duduknya dan ke luar dari kamar.
“Nah, dia sudah bangun . . . ! suara Tante Dewi. “Bennnnn! Kenalkan, nih! Teman Tante, Zus Mia!”
Benny
mengulurkan tangannya menyalami Zus Mia. Wah, bukan main. Benny
sampai terpana. Cantiknya selangit. Apalagi dengan rambut di potong
pendek, model lelaki. Diam-diam Benny berkata dalam hatinya:
Bagaimana sih rasanya perempuan seperti Zus Mia. Enak tentunya!
“Maaf, Zus ! Saya mandi dulu,” ujar Benny.
“Silahkan,” jawab Zus Mia.
Setelah Benny berlalu ke kamar mandi, Tante Dewi menjawil Zus Mia seraya katanya: “Kelihatannya Benny naksir kamu, Mia!”
“Kayaknya sih begitu!” balas Mia.
Benny
mandi puas-puas. Tubuhnya terasa semakin segar lagi. Bila Benny
memasuki kamarnya setelah selesai mandi, Benny terkejut sekali. Tante
Dewi dan Zus Mia sudah terlentang di tempat tidurnya dalam
keadaan merangsang, tanpa busana! Tetapi hanya sekejap Benny
terkesiap. Segera dia melepaskan handuk yang membelit tubuhnya.
Benny dalam keadaan telanjang bulat, menyergap Zus Mia yang
terlentang di pinggiran tempat tidur. Zus Mia membalas. Agak
malu-mau. “Ben!” ujar Tante Dewi. “Aku sering menceritakan
tentang dirimu pada Zus Mia. Zus Mia terkesan. Dan ingin pula mencicipi
kejantananmu yang perkasa itu!” kata Tante Dewi.
“Betulkah itu, Zus!” tanya Benny.
Zus
Mia mengejap-ngejapkan matanya. “Eh . . . tidak ! Eh, iyyaa! Tetapi
nggak apa-apa, kan! Kamu bersedia, kan ! Memberikan kebahagian
padaku!” ujar Zus Mia agak gagap.
“Tentu saja! Siapapun akan siap memberikan kebahagiaan pada Zus Mia yang cantiknya selangit begini!” kata Benny.
Zus
Mia tertawa-tawa kecil ketika Benny mengecupi bibir dan seluruh
wajahnya bertubi-tubi. Mendapat giliran pula lehernya yang jenjang
merangsang. Lalu pentil-pentil susunya yang tegak merangsang. Uf!
Ternyata menggeluti Zus Mia mempunyai keasyikan tersendiri. Buah
dadanya lebih besar dan lebih padat pada millk Tante Dewi. Pentil
susunyapun lebih besar dan merangsang! Demikian pula bukit
kemaluannya. Lebih mumbul. Hanya saja, rambut kemaluannya tidak
selebat milik tante Dewi dan Aningsih!
“Bennnnn! Ehg. Aukhhhh . . .
!!!” Zus Mia menjerit sejadi-jadinya bilamana kepala zakar Benny
yang bengkak dan besar itu menyeruak lobang vagina Zus Mia yang
sangat kecil dan sempit. Zus Mia merasakan sakit amat sangat. Ini
dimaklumi, karena Zus Mia belum pernah merasakan senjata yang besarnya
seperti kemaluan kuda !
“Bennnnnn ! Ssssakkkittthhhsss . . . !!” kata Zus Mia berkelojotan.
“Tahankan,
Mia. Tahankan!” ujar Tante Dewi sambil. memegangi keclua kaki
Zus Mia. “Nantipun kau akan merasakan enak. Tahankan, sayang !”
Benar
saja. Kalau tadi, Zus Mia merasakan sakit luar biasa, lama kelamaan
rasa sakit itu hilang, berganti dengan rasa enak luar biasa. Sudah
tentu Zus Mia senang sekali, Gerakan-gerakan memutar pantat dan
pinggulnya sungguh romantis, seirama dengan ayunan-ayunan pantat
Benny yang naik turun dan sesekali melakukan gerakan memutar yang
aduhai. “Oukh., Bennnn! Ennnaakhhh, sayangghhhh . . . !”
demikian ujar Zus Mia berulang-ulang.
Benny tersenyum sambil terus
juga memnyerbu bukit kemaluan Mia yang indah menantang. Tante
Dewi yang menyaksikan adegan itu jadi terangsang. Segera dia
berdiri, mcngangkangi kepala Zus Mia. Ditariknya kepala Benny. Benny
mengerti. Tante Dewi ingin agar Benny mengerjai kemaluan Tante Dewi
dengan mulutnya. “Ayoh, Bennn! Ciumi punyaku ! Aku juga sudah
tidak tahannhhhh . . . !” ujar Tante Dewi dengan suara sengau tak
menentu.
Benny melakukan dua macam kesibukan. Sementara
kemaluannya menerobos keluar masuk belahan daging Zus Mia,
mulutnya dengan mesra menciumi bukit kemaluan Tante Dewi yang
sudah mekar menantang.
“Bennnn ! Aukhhh! Terruusssh, Bennnn! lyyyyaaakhhh . . . ! “Zus Mia terus meracau.
“Addduuuuh,
Bennnn ! Enaknyaaa! Terrusssh. sayangghhh! Kelentitnya, Bennnn !
Iyyyaaahhhh! Nah, itu, tuuuuuh! Uf! Hmmm, . . . nyem! Nyem! Gigit,
Bennnn! Gighhhiuitttssss . . . !!” Tante Dewi juga meracau sambil
menekan belakang kepala Benny, sehingga hidung dan mulut lelaki
muda itu masuk seluruhnya ke belahan kemaluan Zus Mia yang mekar
semekar-mekarnya.
“Besssss!”
“Sleessep!”
“Blessss!”
“Ahk . . . ih!”
“Oukh . . . !!”
“Hmhhh !!”
Berbagai
suara, ditingkah dengan berkecipaknya zakar Benny yang timbul
tenggelam, terdengar sangat merdu dan mesra. Mulut vagina yang sempit
itu ikut monyong ketika Benny menarik senjatanya dan sampai
kempot melesak ke dalam pada waktu Benny mengamblaskan zakarnya.
Lama mereka bertarung mati-matian, sampai akhirnya Tante Dewi
yang terlebih dulu kejang. Tante Dewi menekan belakang kepala
Benny sekuat-kuatnya, sambil menjerit histeris.
“Bennnnn!AkhhhuUUu
kelluarrr . . . !!! Sshhh . . . akkkkhhh . . . !!” dan Tante
Dewi sambil setengah berdiri, meliuk-liuk seperti orang kesetanan !
Kepalanya terlempar ke sana-ke mari. Dengkulnya gemerar sekali.
Punggunya setengah menekuk, bagaikan udang tangannya
meremas-remas dan menjambak jambak rambut benny sampai lelaki itu
merasa sakit. Namun bercampur kenikmatan. Pada saat itu pula.
Benny merasakan semburan-semburan lahar panas dari dalam lorong
vagina Tante Dewi. Banyak sekali. Kental dan licin. Benny
bagaikan orang yang haus, dengan rakus meneguk semua cairan itu.
Tanpa tersisa lagi. Terasa gurih dan harum!
Tante Dewi segera jatuh tergelimpang dengan lemasnya.
Namun penuh puas!
Benny
masih bertarung dengan Zus Mia. Dua menit setelah jatunhnya Tante
Dewi, Zus Mia menjerit-erit histeris. Tubuhnya berkelojotan, seperti
ayam disembelih. Menggelepar-gelapar. “Oukh, Bennnnn! Akhhuuuu
keluarrrhhhh!!! Ssshhh, Bennn! Akkhhh! Ennnnnaaakhhhh !!! dan Zus
Mia tidak lagi mampu mempertahankan bentengnya. Bobol seketika.
Lahar menyembur-nyembur. Mata Zus Mia terbeliak-beliak. Cuma
kelihatan putihnya saja. Kuku-kukunya yang panjang-panjang itu,
mencakar-cakar punggung Benny sampai berdarah!
Zus Mia segera
lemas setelah mencapai puncak kenikmatan. Namun Benny sendri
belum, Benny masih terus menaik turunkan pantatnya dengan
bersemangat. “Oukh, Ben! Akkhhuuu lemassss Lettttiih Isti . . .
rahattsss duluuu, Bennnnn! !!” Zus Mia merintih-rintih.
“Sebentar, Zus. Tanggung, nih! Mau enak, Zus! Tahankan!” ujar Benny tersendat-sendat.
“Ampun, Bennnn!Ampunnnnn! !!”
Tetapi
mana mau Benny mempedulikan rintihan-rintihan Zus Mia. Malah Benny
semakin ganas dan bersemangat menghujamkan batang kemaluannya. Zus
Mia meronta-ronta. Benny menekan tubuh Zus Mia dengan tangannya.
Dan zakarnya terus juga bekerja. Blassssh! Slesssepsss!Srrrt!
Blassshhhh ! !!” Ampun, Bennnn ! Ampunnn !”
“Sebentar, Zus . . . !!”
Dari
letih, lemas dan tidak bertenaga, akhirnya Zus Mia jadi bernafsu
lagi, karena bukit kemaluannya terus menerus diserbu habis-habisan oleh
zakar Benny yang perkasa. Dan Zus Mia pun mulai
menggoyanggoyangkan pinggulnya, memutarmutar romantis. “Bennnnn, .
!! Uukh, kau sungguh perkasa dan pintar. Aku jadi nafsu lagi.
Enak lagi, Bennnnn!!” Zus Mia mengerumasi rambut Benny. Dan
merekapun terus bertarung, mendaki bukit yang terjal.
Lima
belas menit kemiudian, barulah keduanya mencapai orgasme secara
bersamaan. “Zusssshhhh! Akkkhhuuuu kelluuuarrr, ssshhh . . . ! Akkkkhhhh
!! Oukh !!” dan Benny menggeram hebat bagaikan harimau lapar
bertemu lawan. Kedua lengannya yang kekar memeluk dan menekan
tubuh Zus Mia sekuat-kuatnya, sehingga Zus Mia merasakan tubuhnya
remuk seketika. “Oukh, Ben! Akhhhuuu jughhhaaa kelluarrr . . .
sssh, akhhhhh !!” Banjirlah lorong vagina yang sempit itu,
sehingga sebagian menetes-netes ke luar, membasahi sprei.
Semprotan-semprotan bertubi-tuhi telah menyemburkan cairan yang
luar biasa banyaknya, saling bercampur kental, hangat dan licin!
Hmmmmmh, benar-benar sorga dunia!
Benny segera tergelincir
dari tubuh Zus Mia. Tante Dewi yang sudah mendapatkan istirahat
cukup setelah menyemprotkan cairan mani, naik spanning. Dia tidak
memberikan kesempatan pada Benny untuk beristirahat. Ditariknya
lelaki itu dari tempat tidur. “Ayoh, Bennn! Kerjai aku sambil
berdiri. . . . !!” ujar Tante Dewi yang sudah-tersengal-sengal bernafsu!
Benny
bukanlah Benny kalau dia tidak mampu melayani tantangan perempuan
secantik Tante Dewi. Dasar mesin tokcer, sekalipun tanpa istirahat,
Benny sanggup untuk bertarung lagi. Dalam keadaan berdiri, Benny
menekan tubuh Tante Dewi ketembok. Sebelah paha Tante Dewi
diangkatnya tinggitinggi, sehingga memperlihatkan belahan
kemaluan yang sudah mekar semekar-mekarnya. Benny lalu
mengunjamkan senjatanya ke belahan yang amat menawan itu. “Oukh,
Bennn!! Ennnaaakhhhhh!!”
Pertarungan sengit sambil berdua itu
dimenangkan oleh Benny. Tante Dewi lebih dulu mengeluarkan
cairannya dan segera merosot jatuh lemas ke lantai. Benny
penasaran, karena belum mencapai puncak kenikmatan. Senjatanya
maslh tegangtegangnya. Benny melihat Zus Mia masih berbaring
dengan kedua paha terkangkang selebar-lebarnya. Maka Benny segera
menubruknya. Dan pergumulanpun terjadi. Semakin dahysat dari pada yang
sudah-sudah!
Demikianlah berganti-ganti Benny mengerjai
kedua perempuan cantik itu. Benny benar-benar kuda jantan yang
patut diacungi jempol. Tante Dewi dan Zus Mia benar-benar merasa
puas. Bahkan Zus Mia lebih gawat lagi, ingin memiliki Benny
seutuhnya!
Namun secara jujur, Benny harus mengakui, bahwa
diantara sekian banyak perempuan-perempuan yang pernah
digaulinya, hanya dengan Aningsih Benny merasa puas. Benar-benar
kepuasan sempurna. Tante Dewi enak. Zus Mia lebih enak dari pada
Tante Dewi. Namun kepunyaan Aningsihlah yang terlebih enak! Maka
Benny tidak dapat melupakan Aningsih!
Harapan tidak selalu menjadi
kenyataan. Betapa kecewanya Benny ketika mendatangi rumah
Aningsih pada beberapa hari kemudian, ternyata Aningsih sudah
pindah menempati rumah sendiri. Baru dibelinya ! Ujar teman sekamar
Aningsih.
“Pindah ke mana, Zus!” tanya Benny penasaran.
“Maaf! Saya tidak dapat memberitahukan. Ini atas kemauan Aningsih sendiri!”
“Lho, mengapa begitu!” tanya Benny makin penasaran. “Saya sendiri tidak tahu,” teman sekamar Aningsih mengangkat bahu.
Benny
menghempaskan napasnya. Mengapa Aningsih bersikap aneh begitu !
Disaat rindu sedang menggebu-gebu, dia menghilang,. Padahal aku dan dia
baru saja berkenalan, demikian kata hati Benny. Dengan lesu benny
minta diri dan meninggalkan rumah Aningsih. Kemana dia ? Mengapa
dia tidak mau memberitahukan tempat tinggalnya yang baru! Apakah
dia membenciku ! Apakah aku telah melakukan kesalahan fatal
sehingga dia tidak mau memaafkanku! Benny mengerumas rambutnya
setelah tiba di tempat kostnya. Aningsih! Mengapa kau begitu
cepat menghilang, padahal aku benar-benar sangat merindukanmu!
Hanya kaulah yang mampu memberikan kepuasan yang sempurna padaku.
Tidak perempuan-perempuan lain! Dan untuk kesekian kalinya, Benny
meremasi lagi rambutnya dengan resah. Bertepatan dengan itu, pintu
terbuka. Masuklah Tanta Dewi. “Kau kelihatannya resah sekali, Ben!”
bertanya Tanta Dewi.
“Saya sedang pusing, Tante . . . !!” ujar Benny malas-malasan.
Aningsih
dengan sengaja seolah-olah menghindari Benny, pada hal perempuan
itu mengakui, telah memperoleh kebahagiaan sempurna dari Benny. Mengapa
bisa demikian ! Benarkah Aningsih membenci Benny! Benarkah Benny
telah melakukan kesalahan fatal, sehingga Aningsih tidak dapat
memaafkannya !