Namanya
Oedin. Seorang pemuda asal Indonesia. Berdomisili di kota metropolitan
Jakarta. Bekerja di sebuah government agency yang terkenal di sana. Aku
kurang jelas apa posisi atau tugasnya. Dia tak pernah cerita. Aku hanya
tahu penghasilannya cukup untuk membiayai sepuluh istri di Indonesia
(akunya),
tapi tak cukup untuk membiayai aku seorang (balasku) hahaha.
Yah, begitulah salah satu olok-olok yang kulontarkan padanya.
Pertama
kali aku melihat Oedin dalam rangka PERMIAS (Persatuan Mahasiswa
Indonesia di AS) antar kota-kota di California beberapa tahun silam,
saat kita masih berkuliah ria. Ketika itu dia lagi menyelesaikan studi
MSBA-nya di salah satu kampus University of California. Dan aku, aku
juga kuliah di kampus UC yang lain, beberapa tahun lebih junior darinya.
Dalam pertandingan olahraga yang diadakan setiap tahun itu, aku ikut
main bulutangkis, dan Oedin main volleyball. Team-nya menang. Dan
ngeeeeennggggg….! Aku mulai ngeceng Oedin.
Wajahnya yang tampan menarik, tubuhnya yang tinggi tegap serta dagunya
yang berbelah di tengah selalu membuat kedua bola mataku berkeliling
mencari sosok itu. Dunia ini akan menjadi sempurna kalau saja dia
membalas tatapan mataku dan menyimpulkan sebuah senyum untukku. Tapi
tentu saja the world is not perfect. Dia tak pernah melirikku. Tak sadar
kalau aku exist! Hhhhh! bahkan gelar juara bulutangkis pun tak berhasil
kuraih. Aku pulang dengan rasa hampa.
Lewat suatu kesengajaan,
aku lihat Oedin untuk yang kedua kalinya beberapa minggu kemudian. Di
sebuah klub. Aku tahu dia akan hadir di sana, maka aku juga ke tempat
yang sama dengan tujuan ngeceng si kece. Hey! siapa tahu usahaku kali
ini membawa hasil. Tapi, untuk yang kedua kalinya aku dikecewakan. Oedin
membawa teman kencan yang membuat hatiku gusar. Seorang bule yang
menurutku tidak cantik, plus tubuhnya terlalu berbobot dimataku.
Apa
gerangan yang dilihat Oedin dalam diri perempuan ini? Seleranya kok
rendah sekali. Padahal Oedin pantasnya sama aku (gegege…). Dari kejauhan
aku amati makhluk wanita itu minum sambil bersenda gurau berisik sekali
bersama orang-orang berisik lainnya. Dia tidak sungkan-sungkan memberi
beberapa pria ciuman dalam kemabukannya. “Fat bitch!” atau “Italian
whore!” Sepanjang malam aku mengumpat dalam hati. Mana mungkin aku bisa
bersaing dengan perempuan seliar gitu? Another night got ruined. Dasar
Oedin jelleeeekkkkkk!!!!
Aku tak pernah mencari Oedin lagi.
Kupikir itu lebih baik, daripada nantinya aku mempermalukan diri
sendiri. Beberapa tahun kemudian, setelah nyaris hilang bayangan pria
bernama Oedin yang dua kali bikin aku gondok (arggghhhhh!), aku
dipertemukan kembali dengannya tanpa kucari jauh-jauh. Saat itu aku di
tengah-tengah kesibukanku di depan PC, tiba-tiba sebuah message window
Yahoo Messenger muncul di depan mataku menyapaku. Ya, sampai sekarang
aku masih tidak mengerti bagaimana seseorang yang namanya tidak
tercantum dalam contact list-ku bisa begitu saja melihat aku
online/offline dan kirim message.
Itulah Oedin yang kembali.
Tidak! Dia tidak kenal aku. Dia hanya tahu aku adalah teman seorang
koleganya yang kebetulan alumnus UC. (Kawanku bekerja di kantornya di
Jakarta, yang kuliah di UC adalah aku, bukan sang kawan, ngerti?!).
Kawanku memang pernah bercerita tentang Oedin dan berniat mengenalkan
kami. Tapi sebelum itu terjadi, Oedin telah terlebih dahulu “nyolong”
nickname Yahoo-ku.
Oedin dan aku sering bertemu online/chatting.
Tak pernah diawali dengan perkenalan, tak ada basa basi atau pembicaraan
hal-hal yang serius, atau apa yang orang bilang curhat, singkatnya kami
tidak pernah berkonversasi secara normal. Ibarat anjing dan kucing,
kami bertemu lalu saling mencemooh, saling mengejek, bertengkar. Tak
pernah akur (welcome to cyber nightmare!). Tak heran kalau setelah
berbulan-bulan kami masing-masing tidak mengetahui apa-apa tentang satu
sama lain. Sebetulnya aku ingin mengenal dirinya lebih jauh, tapi begitu
kesempatan korek-mengorek itu datang biasanya kami jadi bertengkar.
Bagaimana tidak? Oedin tak pernah mengalah. Setiap pertanyaan selalu aku
yang harus jawab dulu. Bahkan dia kadang-kadang menghindar kalau tiba
gilirannya untuk menjawab. Wajar saja kalau aku sering ngambek.
Mestinya
aku tidak menghiraukan Oedin. Apalagi dia adalah seorang self admirer
(itu lho, yang kerjanya tiap hari menyanjung diri). Tapi dia justru
membuatku penasaran. Aku tak pernah marah lama-lama atau bosan,
sebaliknya aku akan mencoba dan mencoba lagi. Bisa jadi kalau dalam
sehari aku cuma bicara dua kalimat dengannya “hai Oedin”, “bye Oedin”
dan menghilang meninggalkannya bengong, karena aku tak tahan
mendiamkannya. Aku tidak tahu apakah dia sudah punya pacar atau belum.
Kawanku bilang tak ada yang serius.
Suatu hari, Oedin minta
fotoku!!! Hehe… Tentu saja jawabku, “IN-YOUR-DREAM!” Pernah pula aku
menelponnya setelah kuperoleh nomor hp-ya lewat perjuangan yang “almost
cost me an arm and a leg”. Dia memang menyadari betapa indahnya suaraku,
tapi sayang, dia tetap sama, tak pernah mengalah.
Aku menyerah
akhirnya. Ingin kubuktikan apakah Oedin dapat menjadi orang yang
menyenangkan jika aku yang berinisiatif. I offered to “talk”, not
“fight”. Bahkan kukirim fotoku yang sedang tersenyum manis sekali
(gara-gara capek dipanggil “si Jelek” setiap kali). Well, seperti yang
sudah kuduga, pandangannya terhadapku berubah. Oedin terkesima cukup
lama (or maybe he went into shock). Nah, rasain lu, ternyata dia sama
saja dengan pria-pria lain. Tapi entah karena pelitnya atau apa, sampai
sekarang aku masih tak memiliki fotonya. Dan aku tetap tak berhasil
mengorek banyak.
Suatu hari.
“Khris, aku jadi ke Amrik bulan depan,” ujarnya.
“Datang ya datang! Terus emang napa? Pokoknya jangan lupa bawa titipanku kalo mau ngajak aku dinner.”
“Kamu jemput di airport ya?”
“Mau bayar aku berapa? Kayaknya lebih murah naik taksi deh!” candaku.
“Jangan gitu doooong. Aku kan sengaja mau ketemu kamu.” Tuh! Gombal itu… seperti biasa.
“Ummm… umm…. ” Aku kurang percaya. Temannya masih banyak di sini. Bahkan dia kenal beberapa temanku. “Nggak janji!”
Timbul
niat iseng untuk membalasnya. Aku akan menemuinya di airport, cuma
bertemu, bukan menjemput. Toh dia bukan tamu di sini yang harus
kuperlakukan istimewa. Yup, aku akan mendatanginya di bandara
mengendarai Kawasaki Ninja 250 yang ada di garasiku, jadi tak usah
memboncengnya pulang. Hihihi… motor itu nyaris tak ada tempat buat
bonceng-boncengan, aku juga nggak bisa boncen-boncen, lagian… kopernya
mau ditaruh dimana? Sayang… lulus dari Motorcycle Safety Foundation dan
memiliki SIM motor bukan modal yang cukup untuk keluyuran bawa motor di
sini. Untung aku sudah sering latihan mondar mandir naik scooter
Aprilia-ku dan punya semua perlengkapannya seperti Arai helmet dengan
cap DOT dibelakangnya, sarung tangan dan sepatu boot. Tapi sports bike
Ninja itu jauh lebih berat dari scooter, maka aku rajin weight training
di gym. Aku memang tidak ada potongan seorang biker yang umumnya
beringas dan ototnya bertonjolan. Well, semoga saja hari itu hujan tidak
turun.
Sebulan kemudian.
Dalam penampilan seorang biker aku
bertemu Oedin, menenteng helmet dan jaket kulitku, masih tanpa fotonya.
Dia pernah menawarkan, tapi aku menolak. “Enak aja! Kalau butuh baru
nawarin.” Oedin pun tidak memaksa, bahkan dia masih sempat bilang, “Ya
udah, kalo gitu cari cowok yang paling kece aja di lobby.” Sialan nggak?
Tidak
susah mencarinya dikalangan orang-orang dari berbagai macam etnis di
airport. Sosok orang Indonesia ini cukup familiar. Oedin ternyata sangat
rupawan. Oh yes, aku menikmati setiap detik pertemuan kami. Aku
berhasil membuat wajah tampannya terkesima sekali lagi and it made my
day. Komentarnya sewaktu melihatku, “Woman!?!?!”
Keesokan harinya.
Pikiranku sedang melayang-layang ketika telepon di mejaku berdering.
Nyaris tak ada yang kuselesaikan pagi itu selain mengkonsumsi Toblerone
dan senyum-senyum sendiri melamunkan Oedin yang sejak pertemuan kemarin
memberikan getaran hebat didadaku. Tawanya, gigi putihnya, kata-katanya,
badan tegapnya… semuanya tak pernah lolos dari bayanganku. Aku angkat
telepon dan, “Jahat ya kemaren. Tega banget.” Dasar Oedin! Belum halo
sudah protes. Oops, salah! Justru ini dia telepon yang sudah
kutunggu-tunggu sejak malam. Sesungguhnya sepuluh menit lagi saja,
tanganku sendiri akan otomatis mengangkat gagang telepon dan memutar
nomornya.
“Duuuu… digituin aja ngambeeekk,” balasku geli. Aku memang keterlaluan. Dan aku bersedia kok minta maaf, kalau perlu.
“Iya iya. Aku ngaku kalah. Udah bisa keluar makan?” Hmm… baru jam sebelas.
“Aku masih sibuk, Oed!” Tentu saja sibuk. Wong dari pagi kerjaan belum ada yang beres. “Kenapa? Mau traktir aku makan?”
“Udah kutunggu di depan gedungmu.”
“Hmmm… miss me already?” tak tahan aku tidak menggodanya.
“Iya tuh. Begitu bangun langsung cari kamu.”
“OK. Kira-kira setengah jam lagi aku keluar.”
Oedin sudah berdiri menunggu di samping mobil sewaannya ketika aku
keluar. Sekali lagi aku menggumam, “Oooh Oedin… kenapa kau diciptakan
Tuhan begitu menawan? Semalam aku bolak balik di ranjang sambil ngitung
domba berjam-jam baru bisa tidur… gara-gara kamu.”
“Benar-benar kejam. Perasaan sayangku yang tulus kau permainkan seperti ini,” omelnya di mobil.
Aku hanya tersenyum mesem. Yeah, it won’t happen again, Darling. Tapi, semua ini kamu yang mulai, ingat?
“We even now?” tanyaku.
“Yes. Yes, we’re even now.” Jawabnya memastikan. Lalu ia bergumam, “… ain’t no doubt.”
Siang
itu kami makan sambil berbincang-bincang diselingi gurauan dan cenda
tawa. Mungkin itulah pertama kalinya kami benar-benar ngobrol. Oedin
bahkan memilih sebuah meja yang letaknya di pojok, di mana dia duduk
menghadapiku, dan TEMBOK. Seluruh perhatiannya diarahkan kepadaku
(karena aku jelas lebih enak dipandang daripada tembok). Saat itu aku
berpikir, kalau di tempat umum saja dia bisa konsentrasi memusatkan
perhatiannya padaku, bagaimana nanti kalau kami hanya berduaan saja di
tempat tertutup?? Lalu posisi duduknya yang tegap… whoa… tentunya dia
bukan tergolong orang yang “malas” di ranjang.
Setelah makan. “Aku ada satu permintaan,” katanya.
“Mm-hmm?”
“Boleh nggak hari ini kau nggak balik lagi ke kantor?”
“Yeah. Sure!” Dengan ringan aku menyetujuinya. Oedin menolehku tak
percaya. Aku pun tertawa lagi. Well, call me crazy, tapi aku memang suka
tertawa berada di dekatnya. Dan aku telah jatuh cinta padanya. Dia
begitu pintar membuatku tertawa.
“Mo kemana sekarang?” tanyaku di mobil.
Oedin berpikir sebentar, lalu bercetus, “Las Vegas.”
Kali ini aku yang dibuatnya kaget. Mataku membesar. “You’ve got to be
kidding me!” Tapi ekspresi wajahnya mengatakan, “I am not kidding.”
Dengan begonya aku bilang, “Kau dan aku?” Siapa tahu dia ngajak
serombongan orang.
“Kenapa? Takut apa? Kamu tuh paling safe berada
disisiku.” Yeee… emang apa yang ditakuti? Aku cuma memikirkan tentang
tugas kantor yang akan terlalai kalau ditinggalkan berhari-hari.
“Let’s go! Hit the road!” sambutku pasti. Las Vegas memang cukup jauh,
tapi aku tidak akan menolak kalau itu artinya bisa berduaan berjam-jam
di mobil bersama Oedin. “Tapi besok malam pulang ya! Aku ngga bisa
lama-lama sakit, tugas kantor pasti menumpuk.”
“Whatever you say, my baby girl.” My baby girl… begitulah kadang-kadang dia memanggilku. Ain’t that sweet?
Oedin
mengantarku menjemput mobilku di kantor dan pulang ke rumahku untuk
mengemas barang. Aku keluar lagi dengan gendongan backpack di punggung
dan baju yang lebih santai yang memperlihatkan lekukan tubuhku: tank top
dan khaki pants dgn low cut waistline.
Dalam perjalanan kembali
ke hotel Oedin, kami mampir di convenient store untuk beli minuman dan
makanan ringan. Dia meletakkan tangannya di bahuku. Beberapa orang yang
lewat sempat melayangkan matanya ke arah kami. Dan tatapan mata Oedin
membalas mereka seolah-olah memberikan message, “Cewek ini milikku.
Kalian boleh melihat, tapi aku yang akan membawanya pulang.”
Betapa senangnya aku.
Kami
sampai di kamar hotel Oedin. Oedin menyerahkan sebuah bungkusan besar
kepadaku. “Ini, separuh bawaanku adalah titipanmu.” Isinya tak lain
adalah sebuah guling besar dan empuk titipanku (Di sini nggak ada
guling). Lebih besar diameternya dan lebih lembut texture-nya dari yang
biasa kutemukan. Kupeluk guling itu erat-ear untuk merasakan
keempukannya. Oedin berkata dengan iri, “Sekali-kali aku dong yang
dipeluk.” Aku melirik Oedin lewat ujung mataku dan mencibir. “Bite me!!”
“Itu aku special order buat kamu.” Lalu Oedin mengeluarkan sebuah
bungkusan lagi dari kopernya. “Dan ini sarung guling buat ganti. Kalau
engga aku beliin sekalian, jangan-jangan kau ngga pernah ganti
sarungnya.”
“hehehe… very thoughtful!!” ledekku sebal.
Tapi
aku lalu bangkit mendekati Oedin, merentangkan kedua tanganku
lebar-lebar dan memeluk lehernya. Lega sekali rasanya akhirnya bisa
begitu. Kudekap erat tubuh lelakinya yang mantap kokoh. Tercium bau
cologne-nya yang sangat kusukai sejak kemarin. Peluklah aku
sekencang-kencangnya, jangan biarkan aku lepas, ucapku dalam hati.
Kurasakan lengan Oedin merengkuh tubuhku. Aliran panas mulai menjalar
menghangati seluruh tubuhku. Kami hanya berpelukan beberapa saat dengan
pikiran masing-masing. Lalu aku melonggarkan dekapannya dan memandangnya
dari jarak dekat sekali. Ampuuuun Oedin… belahan dagumu sangat menarik
dalam jarak sedekat ini. Oedin mengecup bibirku ringan.
“Sudah lama aku ingin menciptakan momen ini. Momen perfect seperti ini.”
“Seperti apa?” sahutku menantangnya.
“Momen yang pas untuk menciummu, dan menggigit bibirmu yang sensual.”
“Momen yang seperti itu tidak bisa sengaja diciptakan sepasang manusia.
Harus terjadi dengan sendirinya,” jawabku lembut. “Dan kau baru saja
merusaknya.”
“Oh ya?” Oedin berkata seraya menempelkan bibirnya
kebibirku. Hembusan napas kami beradu. Dua bibir terkunci. Dan kami
terbuai dalam ciuman yang hangat dan panjang.
… aku merintih dan
mendesah nikmat, memberinya aba-aba untuk maju terus. Namun pelan-pelan
gerakan mulutnya terhenti. Huh. Selalu bikin aku kesal! “Aku ada sesuatu
untukmu,” katanya. Dia melangkah ke tasnya mengambil sebuah kotak kecil
dan mengajakku duduk di sampingnya di sisi ranjang. Kotak terbungkus
rapi yang mirip kotak perhiasan itu diserahkannya kepadaku. Dengan rasa
ingin tahu, aku buka dan… kosong! Tak kutemukan barang sekecil apa pun
di dalamnya. Oedin tak membiarkan aku bengong lama-lama, dia berucap
serius, “Pakailah.” Sedetik kemudian aku pun tersenyum mengerti
maksudnya.
Aku berdiri di hadapannya, mundur dua kaki. Sambil
menggigit bibirku dan mengulum senyum, perlahan-lahan aku melepaskan
shirt-ku lewat atas kepala, mengibas rambutku yang tergerai di bahu,
lalu kemudian aku lepas celana panjangku. Oedin duduk di ranjang
menyaksikan adegan stripping itu. Kemudian aku berputar membelakanginya,
memberinya sebuah view tubuh seorang wanita yang hampir sempurna.
Dengan posisi membelakanginya, aku melepaskan kaitan bra-ku,
menelanjangi dadaku, mengangkat bra itu tinggi-tnggi dan membuangnya ke
bawah. Lalu aku berputar lagi menghadapnya. Heran! Tak sedikitpun rasa
malu melandaku menelanjangi diri sendiri di depan lelaki yang baru
kujumpai. Seluruh anggota tubuh Oedin begitu terfokus pada diriku,
terutama matanya memancarkan pesona seolah-olah melihat dewi turun dari
langit. Buru napasnya yang dapat kudengar membangkitkan rasa percaya
diriku. Aku merasa seksi sekali (mungkin juga terpengaruh oleh kondisi
fit tubuhku yang belakangan ini banyak dilatih). Oedin meraih iced tea
di atas night stand dan meneguk isinya sedikit untuk melepaskan
dahaganya. Kuhampiri dirinya dengan maksud memancingnya lebih jauh.
Disentuhnya buah dadaku dengan botol di tangannya. Tarikan napasku
terhenti seketika dan mataku sempat terpejam. Dingin sekali. Tapi
nikmatnya tak terlukiskan. Putingku yang semula sudah tegak berdiri
disebabkan dinginnya kamar hotel makin mengeras dan menantangnya. Buah
bundar di sekitarnya bergerak naik turun seirama dengan napasku. Aku
pasrah menantikan sentuhannya. Oedin mendekati dadaku dan giginya
menggigit pelan putingku. “Oedin…” desahku memohonnya. Namun cuma itu
yang kudapatkan. Tidak lebih. Dia mundur lagi. Saat itu napasku kian
memburu.
Kiranya Oedin masih menikmati permainan ini. Dia masih
belum menyentuhku. Fine! Dengan susah payah aku menahan diri. Aku
menelan ludah dan melanjutkan dengan melorotkan sedikit CD-ku memamerkan
bulu hitam yang muncul di baliknya. Kugodanya dengan lirikan mataku dan
senyuman nakal di bibirku.
“Lepaskanlah. Ada sebuah surprise
menantimu.” Aku menawarkan Oedin untuk membuka sehelai kain terakhir
yang akan melengkapi ketelanjanganku. Ya, harus dia yang buka. Oedin
berlutut. Sambil didekatkan kepalanya ke perutku mencium harum tubuhku,
tangannya melakukan apa yang kupinta. CD itu baru turun separo di pahaku
ketika tiba-tiba matanya menangkap sesuatu yang lain di sana. Oedin
terkejut.
“Kau apakan?” tanyanya melotot. Jemarinya mengelus lembut
bulu-bulu yang tumbuh di atas kemaluanku. Bulu itu membentuk sebuah hati
yang rapi.
“Cakep nggak?” Kepalaku menunduk memperhatikannya,
waswas menanti. Bagaimana kalau dia lebih suka bulu yang lebat seperti
kebanyakan orang Indonesia? (bener kan?!) Aku sendiri bangga sekali akan
pemandangan itu, bukankah better access better service? Nggak
seluruhnya habis lho, cuman bagian atas seperlunya kok.
“Keren banget. Tapi… apa engga sakit, Khris?” Nadanya khawatir.
“Sakit lagi! Itu di-wax, bukan dicukur.”
“Ouch. Buat apa, ah? Untung-untung nggak infeksi.”
“Yang ngerjain profesional kok!”
“Buat apa?”
“Buat siapa!” Koreksiku.
“Buat aku?” tanya Oedin tak percaya.
“Just for you.” Konfirm-ku.
Seketika itu juga Oedin membawa tubuhku ke dalam pelukannya.
Mendaratkan ciuman di bibirku dengan agak paksa, menanamkan lidahnya di
dalam mulutku dan bergerak dengan liar di sana. Setelah itu Oedin
menelusuri setiap inci kulitku yang tak terbalut sehelai benang pun.
Begitu passionate dan intens rangsangan yang diberikannya. Leherku,
bahuku, dadaku, perutku, kemaluanku… rasanya aku tak mampu berdiri lagi,
antara ingin terkulai lemas dan nikmat ingin terbang. Tanganku
berpegangan pada tubuhnya mencari support. Tapi otot-otot kencang lengan
dan bahunya justru memberikanku rasa nikmat. Kulucuti shirtnya. Dan
akkhhhh… dadanya terbentuk indah nian.
Lebih sensitif titik yang
disentuhnya, lebih nyaring pula desahan dan rintihanku; dan kutambahi
bisikan-bisikan “yes” bilamana cumbuannya kurasakan tepat sekali.
Ternyata direksiku sangat efektif, dalam sekejap dia membuatku
mengerang-erang tak tahan. “Oedin… aku nggak bisa berdiri lagi. Aku
perlu berbaring,” aku memohon padanya. Tubuhku didorongnya ke dinding
yang terdekat. Kesempatan itu aku gunakan untuk memeluknya erat-erat,
sebelum dia meneruskan aksinya. Semacam time-out. Aku sempat berpikir,
apa yang akan terjadi besok, atau minggu depan, atau bulan depan? Aku
tak ingin dia terburu nafsu, aku sesungguhnya ingin mendengarnya
mengungkapkan kata sayang padaku dengan sungguh-sungguh. Aku tak ingin
dia ml denganku semata-mata karena attraksi fisik. Mengertikah kau,
Oedin?
“Oedin?” panggilku lirih.
“Yes Baby?” Tangannya memang
membelai lembut rambutku, panggilannya terhadapku selalu mesra, tapi
entah dia merasakan hal yang kurasakan atau tidak. Aku yang sudah jatuh
hati padanya, namun tak berani menyatakan rasa itu, karena… bagaimana
kalau momen ini hanya merupakan sebuah “one night stand”?
“Let’s
just do it,” ujarku akhirnya. Aku berjalan meninggalkannya, kembali lagi
dengan sejumlah kondom di tanganku. Cukup banyak koleksiku, berbagai
macam ukuran, bentuk, merk dan warna.
“Gitu yaaa? Aku dipaksa pake
kondom.” Oedin kembali melumat bibirku. Untuk mengusir jauh-jauh
perasaan janggal yang tadi merasukiku, aku meremas tonjolan keras di
pangkal pahanya yang sejak tadi belum kusentuh. Nafsuku naik kembali.
Kubuka ritsleting celananya dan kubelai penisnya dari luar celana
dalamnya. “Oooh…Khris…” gumamnya di sela-sela ciumannya. “Touch the real
thing, please.” Aku menyusupkan tanganku ke dalam celananya,
menggenggam kejantanannya dan mulai bergerak naik turun. Akh, so… manly.
Mataku terpejam, hmmm… sesaat lagi genggamanku itu akan mengisi
kewanitaanku dan berpacu! berpacu! untuk meraih sensasi maksimum yang
seharusnya aku kejar saat ini. Forget everything else.
“Apa posisi
favoritmu?” bisikku di telinga Oedin. Dia sedang memejamkan matanya
sambil kepedasan menikmati sentuhanku. “Mmmm….?” Dia hanya ‘mmm’. “Ayo
dong… kasih tahu. Karena aku akan memenuhi fantasimu,” pancingku sambil
menjilati leher dan dadanya. Oedin tersenyum geli gara-gara jilatanku
sekaligus pertanyaanku. Emang lucu? “Masa kau ngga pernah punya fantasi
sih? Aku janji gak akan ketawa.”
“Hehehe… See… I can’t tell you that. It’s supposed to just happen.”
“You never ever fantasize making love to me?” tanyaku lagi.
“Umm… I tell you that, then I’d have to kill you.” Yaaa, mulai Oedinnya keluar.
“Kayaknya kamu ada fetish deh. Fetish lihat cewek stripping, iya kan? Ngaku!”
Kembali dia tersenyum.
“Fuck you, Oedin.” Aku benar-benar kesal. “Kamu pikir ini lucu. If you
don’t want to share anything with me, that’s your choice. But I can’t be
here.”
Aku sudah membuka diriku selebar-lebarnya, bahkan sudah
telanjang bulat di depan matanya, kukira dia sudah berubah sejak kami
bertemu, tapi aku keliru.
“Call me when you’ve grown up,” lanjutku
sambil bergerak meninggalkannya. Mungkin dia memang lebih cocok dengan
si “Italian bitch” after all, mungkin hati perempuan itu sekeras batu.
“Khris, tunggu.” Oedin mencekal lenganku. “Tentu saja aku berfantasi.
Tapi jika kau tanya apakah aku pernah bermasturbasi sambil membayangi
dirimu, tak pernah kulakukan itu. Aku menghormatimu.”
Entah dia
berkata yang sejujurnya atau tidak. Aku malas menoleh kearahnya atau
argue lagi dengannya. Aku percaya hatinya sebenarnya lembut, tapi aku
lelah, hatiku sungguh lelah.
“Dan, aku tidak punya fetish seperti
yang kau katakan, tapi mungkin aku punya suatu fetish yang lain. ‘fetish
Khristi’. Pernah denger?”
Ok, keep going, I am listening, ujarku dalam hati. Di depannya aku masih cemberut.
“Lalu, posisi yang aku sukai, ummm… mungkin…. kamu di atas.” Gigitan
kecil mesra di daun telingaku disertai bisikan “nothing can beat that
view” membuatku geli, sekaligus melunakkan hatiku. Tak pernah dia
merangkai kata-kata seindah itu sebelumnya. “Atau kalau gak dikasih
frontal view, dikasih rear view juga oke banget. You got a perfect ass.”
Kata-katanya merangsang saraf-sarafku. Aku mulai merespons cumbuan
serta bisikannya dengan hangat sambil kudesahkan lirih namanya. Tubuhku
ditindihnya melawan dinding. Kedua pahaku kuangkat naik sehingga
menjepit pinggangnya, lalu tiba-tiba kurasakan sebuah benda keras tumpul
mendesak masuk memenuhi kewanitaanku. Bisikan dan desahan berubah
menjadi erangan nikmat berpadu di ruangan itu.
Kini Oedin telah
pergi jauh, kembali ke kehidupannya yang rutin. Tapi aku telah menemukan
Oedin yang baru. Aku mencoba membuang jauh pikiran yang dulu biang
frustrasi dan kesebalan, karena perasaan itu membuatnya semakin jauh
dariku. Aku lebih suka mendapati diriku memejamkan mata, me-recall aroma
tubuhnya yang segar, sambil memeluk erat-erat guling pemberiannya,
mengingat caranya menggodaku, membuatku tertawa. Dia tak pernah lagi
membuatku kesal, yang ada hanya rasa sayang dan rindu. Sebelum berpisah,
aku pernah berpesan kepadanya, “Ingatlah aku setiap malam sebelum kau
tidur. Kalau nggak tahan, masturbasilah. Aku akan dapat merasakannya
dari sini.”